Kalaupun misalnya bahwa pemerintahan China hanya melakukan hak menjaga keutuhan negara, lalu logiskah jika kamp-kamp konsentrasi itu seksis? Dapatkah diterima secara akal adanya kamp-kamp konsentrasi seperti yang dialami warga Yahudi di Eropa masa lalu?
Tentu kita harus menghormati kedaulatan negara lain. Kita tidak ingin intervensi urusan dalam negara lain. Tapi ketika sudah menyangkut “hidup dan kemuliaan manusia” (human dignity) maka Indonesia dan dunia internasional punya tanggung jawab moral dan konstitusi untuk menyuarakan resistensi.
Jika Indonesia dan dunia Islam, bahkan dunia internasional memilih diam maka sekali lagi, itu adalah pengkhianatan nyata kepada nilai-nilai kemanusiaan, agama dan konstitusi.
Kesimpulannya kita tidak punya kepentingan melihat Xingjian (Turkistan Timur) memisahkan diri dari China. Sebagaimana kita tidak mau negara lain mendukung Papua untuk memisahkan diri dari NKRI. Tapi moral dan konstitusi kita mengamanahkan untuk menjunjung tinggi hak-hak semua manusia untuk kebebasan beragama (freedom of religion) dan kemuliaan kemanusiaan (human dignity).
Oleh karenanya kita tunggu langkah apa yang akan diambil oleh Pemerintah Indonesia ke depan. Apalagi mulai Januari ini Indonesia menjadi salah satu anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Apakah hanya menjadi penghibur dan pelengkap di DK? Mengikuti ritme nyanyian dunia yang penuh kepura-puraan?
Atau Indonesia akan berani untuk melakukan langkah-langkah dan terobosan baru dalam meminimalisir berbagai ketidak adilan dunia. Uighur, Rohingya, dan tentunya Palestina menunggu penuh harap. Kita juga menunggu!