Musim Hujan Ancam Nyawa Pengungsi Rohingya

1028
Kamp pengungsian Rohingya di Bangladesh terancam longsor dan banjir saat musim hujan mendatang (Photo: The Guardian)

Bangladesh, Muslim Obsession – Puluhan ribu pengungsi Rohingya berisiko meninggal dunia atau cedera serius saat musim hujan mendatang. Sebagaimana diberitakan Al-Jazeera, Selasa (6/3/2018).

Musim hujan di Bangladesh akan segera dimulai, dengan hujan lebat selama berminggu-minggu. Angin topan bisa melanda negara tersebut antara bulan Maret dan Juli.

Di samping itu, lembah curam yang besar di kamp pengungsian Rohingya berpotensi menyebabkan berbagai bencana alam. Ditambah, tempat pengungsian mereka dinilai tidak memadai.

“Saya sangat khawatir dengan musim hujan,” kata Mohammed Rofik, salah satu pengungsi Rohingya di Bangladesh.

“Keadaan ini cukup sulit. Sebelumnya, di Myanmar kita memiliki rumah yang bagus. Rumah-rumah yang kami tinggalkan itu mungkin akan hancur oleh badai. Tapi, di sini, kami memiliki rumah yang terbuat dari plastik dan bambu,” tandas Mohammed kepada The Guardian.

Musim panas yang lalu, ketika ratusan ribu orang Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan dari Myanmar, pemerintah Bangladesh mengalokasikan tanah milik negara untuk kamp mereka. Lahan itu adalah hutan cadangan Bangladesh. Hutan yang indah, padat, subur yang membentang sejauh bermil-mil di bagian selatan negara tersebut.

Namun, dalam beberapa bulan, hutan tersebut berubah menjadi lahan gundul. Sehingga, kini hanya berupa lumpur yang dipadatkan yang mudah hancur lebur saat disentuh. Kecepatan Rohingya melintasi perbatasan bulan Agustus lalu, membuat agen bantuan kemanusiaan cukup terkejut. Akibatnya, ribuan rumah dibangun tidak lebih dari tarpaulin dan bambu.

“Rumah-rumah di puncak bukit berisiko terkena tanah longsor dan banjir,” tutur salah satu relawan kemanusiaan Rohingya.

Badan pengungsi PBB, menunjukkan, nyaris sepertiga dari wilayah permukiman dapat terkena banjir. Dengan lebih dari 85.000 pengungsi kehilangan tempat penampungan mereka. Sedangkan 23.000 pengungsi lainnya yang tinggal di lereng terjal bisa berisiko mengalami tanah longsor.

Karena, letak kamp mereka ada di bagian atas Teluk Bawang yang berbentuk corong dan Bangladesh sangat rentan terhadap kerusakan siklon. Pada tahun 1970, sebuah topan di negara tersebut menewaskan hingga 500.000 orang.

Beberapa jalan bata dan saluran beton telah dibangun dalam beberapa pekan terakhir, namun lembaga bantuan dilarang membuat rencana jangka panjang. Instansi terkait hanya boleh membangun jembatan bambu dan membagikan karung pasir.

Alih-alih membangun sekolah, lembaga bantuan hanya bisa menciptakan “ruang ramah anak”.

Romida, salah satu pengungsi berusia 13 tahun yang tiba dari Burma sekitar enam bulan lalu, mengatakan dirinya ingin belajar lebih banyak.

Di ruang ramah anak yang dijalankan oleh Brac, sebuah badan amal Bangladesh, anak-anak hanya diperbolehkan menyanyikan lagu dalam bahasa ibu mereka. Mereka dilarang belajar bahasa Bengali, hal ini untuk memastikan, mereka tidak akan bisa berintegrasi dengan penduduk setempat.

Ada sekitar 900.000 orang Rohingya di Bangladesh saat ini, menurut angka badan pengungsi PBB, dengan sekitar 212.000 di negara tersebut. Bahkan, sebelum krisis musim panas lalu.

Beberapa kamp di selatan Bangladesh telah ada sejak awal tahun 90-an. Ini artinya, setiap orang yang berusia di bawah 25 tahun dipastikan tidak pernah tinggal di luar kamp pengungsian.

“Saya menginginkan pendidikan yang bagus dan pekerjaan bagus. Saya takut akan menghabiskan seluruh hidup saya di sebuah kamp pengungsian,” tandas Romida.

Sebuah madrasah kecil dibangun sederhana untuk mengisi kekosongan pendidikan. Di seluruh kamp, ​​anak-anak berkumpul bersama, melantunkan Al-Quran. Masjid-masjid, bangunan paling kokoh di kamp, ​​bisa menjadi bagian dari perencanaan musim hujan.

Tidak seperti banyak kamp pengungsian di dunia, kamp Rohingya tidak memiliki pagar. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan orang-orang Bangladesh setempat. Terlebih, daerah sekitar kamp merupakan pedesaan miskin.

Pengungsi diberi sejumlah beras, lentil dan minyak goreng setiap bulannya. Namun, bahan bakar untuk memasak tidak didistribusikan. Akibatnya, anak-anak harus berjalan bermil-mil guna mengumpulkan kayu bakar untuk keluarga mereka. Penggundulan hutan yang terus berlanjut di daerah tersebut membuat penduduk setempat marah.

Orang-orang Rohingya telah bertahun-tahun mengalami kemiskinan dan kekurangan di Myanmar. Difteria, penyakit yang hampir sepenuhnya dimusnahkan di Bangladesh oleh vaksinasi rutin, beruntung telah berhasil melewati kamp dalam beberapa pekan terakhir. (Vina)

BAGIKAN

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here