MK Tolak Uji Materi UU No. 1/PNPS/1965 yang Diajukan Komunitas Ahmadiyah

897
ahmadiyah
Pengurus Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII) dan pengacara. (Foto: dok. DDII)

Jakarta, Muslim Obsession – Setelah berproses dalam 13 kali sidang sejak sidang pertama 25 Agustus 2017, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi  (MK) memutuskan menolak uji materi (judicial review) yang diajukan Komunitas Ahmadiyah, Senin (23/7/2018).

Keputusan tersebut diambil setelah melalui pembacaan tertulis pertimbangan Majelis Hakim secara maraton oleh Ketua Majelis Hakim Anwar Usman, disambung pembacaannya berturut-turut oleh hakim anggota Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin Adams, dan Aswanto.

Amar putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak uji materi UU No. 1/PNPS/1965 yang diajukan komunitas Ahmadiyah.

Sidang dipimpin oleh Hakim Anwar Usman, sedangkan delapan Majelis Hakim lainnya adalah Saldi Isra, Arief Hidayat (yang sebelumnya adalah Ketua Majelis Hakim), I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Aswanto, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams dan Manahan MP Sitompul.

Komunitas Ahmadiyah mengajukan uji materi atas UU No. 1/PNPS/1965 atau biasa disebut sebagai UU tentang Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.  Khususnya terkait pasal 1, pasal 2 dan pasal 3 yang dianggapnya memiliki penafsiran beragam sehingga mengandung ketidakpastian hukum, menyalahi konstitusi dan hak sebagai warga negara.

Selama bersidang, komunitas Ahmadiyah telah mengajukan enam orang saksi ke depan sidang yang disebut-sebut sebagai korban yang mengalami langsung dan atau melihat langsung sejumlah perlakuan kekerasan dan intimidasi oleh masyarakat terhadap komunitas Ahmadiyah yang terjadi di berbagai daerah. Komunitas Ahamdiyah juga mengajukan enam orang Ahli, di antaranya dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan YLBHI.

Sedangkan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam sidang ini sebagai pihak terkait dalam hal ini juga telah mengajukan sejumlah saksi.

Hadir mendengarkan putusan ini  adalah Sekretaris Umum DDII Avid Solihin, Humas DDII Yuddy Ardhi dan Dadi Nurjaman, didampingi kuasa hukum antara lain Ahmad Leksono  dan Sani Alamsyah.

 

Ahmadiyah Menuai Banyak Kontroversi

Dalam belasan kali sidang yang berlangsung, Komunitas Ahmadiyah telah menghadirkan para saksi yang mengisahkan masalah diskriminasi yang dialami para penganutnya, baik berupa tindak kekerasan, perusakan masjid Ahmadiyah, pengucilan hingga sulitnya memperoleh identitas kependudukan dan surat nikah.

Beberapa ahli yang pro Ahmadiyah pun dihadirkan dengan mengandalkan keterangan dari Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Dasar alasan mereka, diskriminasi terhadap Ahmadiyah terjadi karena adanya stigmatisasi ajaran Ahmadiyah sebagai ajaran sesat. Untuk itulah mereka mengajukan permohonan tafsir bersyarat atas Pasal 1-3 dalam UU No.1/PNPS/1965. Mereka menginginkan tuduhan Ahmadiyah sebagai agama sesat, agama menyimpang, menodai Islam dan sejenisnya – atas pertimbangan HAM – tidak berlangsung lagi kedepannya. Namun demikian, para ahli dan saksi yang dihadirkan rata-rata menghindari mengungkapkan persoalan pokok atau prinsip dalam agama (Ushul).

Wakil Ketua Umum DDII Amlir Syaifa Yasin mengatakan, “Justru disinilah persoalannya”. Menurut Amlir, mereka meminta persamaan hak atas nama HAM. Mengaku Islam, tetapi tidak taat kepada ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW, bahkan pendiri Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad, telah berani mengaku sebagai mujadid, sebagai nabi sekaligus sebagai Al-Masih al Maw’ud (yang diturunkan Allah di akhir zaman). Ia berani menyatakan ummat Islam yang mengakui Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak mengakui dirinya sebagai nabi, dinyatakan murtad dari Islam.

Lebih jauh penganut Ahmadiyah meyakini kitab suci lain selain Al-Qur’an, yang dinamakan Tadzkirah, yang isinya diklaim sebagai wahyu-wahyu Allah yang turun kepada Mirza Ghulam Ahmad melalui mimpi-mimpinya.

“Ini sesat dan menyesatkan,” tandas Ustadz Amlir Syaifa.

Aliran Ahmadiyah yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad  tahun 1889 menuai banyak kontroversi, karena pendirinya mengaku sebagai Nabi, sedangkan Islam mengakui Nabi Muhamad SAW adalah Nabi penutup dan tidak ada lagi nabi setelahnya. Di Pakistan sendiri, di tempat berdirinya Ahmadiyah,  aliran ini dinyatakan sebagai kelompok minoritas non-Muslim.

DDII sebagai pihak terkait dalam sidang judicial review UU No. 1/PNPS/1965 telah memberi keterangan melalui sembilan orang ahli yang dihadirkan. Termasuk bukti-bukti dokumentasi sebanyak satu mobil penuh yang disampaikan oleh tim kuasa hukum DDII kepada Majelis Hakim. Seluruh upaya tersebut dimaksudkan agar Majelis Hakim tidak melakukan kesalahan dalam memutuskan permohonan yang diajukan pihak pemohon (Ahmadiyah). Selain DDII, pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menjadi pihak terkait melalui permintaan DDII.

Sekretaris Umum DDII Avid Solihin mengungkapkan, merujuk kepada pembentukan UU tersebut (UU No. 1/PNPS/1965) telah sesuai dengan jiwa dan semangat UUD 1945. Oleh karena itu UU tersebut harus dipertahankan. UU PNPS memiliki peranan penting sebagai wujud dari hadirnya negara dalam menata dan melindungi hak kebebasan masyarakatnya memeluk agama dan untuk beribadah sesuai ajaran agamanya masing-masing. UU PNPS sangat diperlukan untuk kerukunan umat beragama dan mencegah penodaan/penistaan agama.

 

Agama Palsu Tidak Akan Datang Mendahului yang Asli

Ketua Umum DDII  Mohammad Siddik  beberapa waktu lalu menyatakan, “Apapun yang palsu datangnya belakangan. Agama palsu tidak akan datang mendahului yang asli. Ajaran Islam yang benar selalu datang lebih dahulu dibandingkan ajaran yang mengaku-aku Islam dan menyesatkan.”

Hal ini juga senada dengan yang diucapkan Direktur Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam (LPPI) HM Amin Djamaluddin sekaligus pakar aliran sesat, M. Amin Djamaluddin.

Kehadiran aliran Ahmadiyah di Indonesia telah dinyatakan sesat dan menyesatkan oleh Majelis Fatwa MUI (2005), dengan isi fatwa:

  1. Bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).
  1. Bagi mereka yang terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq), yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Hadis.
  1. Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.

Fatwa MUI tentang kesesatan Ahmadiyah tahun 2005 adalah bentuk penegasan kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan menyesatkan. Jauh sebelum itu, beberapa lembaga Islam yang menyatakan Ahmadiyah sesat adalah “Persis” (1932), disusul oleh “Tarjih Muhammadiyah” dan “Bahtsul Masaail NU”.

Fatwa sesatnya Ahmadiyah juga dikeluarkan oleh Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa (Lajnah Daimah) Saudi Arabia dan Lembaga Ulama Senior Saudi Arabia dan Mujamma Fiqih yang menginduk kepada Rabithah Alam Islami dan Mujamma Fiqih Islam yang menginduk kepada Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan Mujamma Riset Islam di Al-Azhar. (arh)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here