Menolak Pemakaman

759

Oleh: Abdul Mu’ti (Sekretaris Umum PP Muhammadiyah)

Penolakan pemakaman jenazah Covid-19terjadi lagi. Kali ini di sebuah desa di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Peristiwa ini menjadi viral dan isu nasional karena yang ditolak adalah jenazah perawat yang wafat karena tertular virus korona dari pasien yang dirawat..

Penolakan itu tak dapat dibenarkan. Islam mengajarkan agar Muslim menghormati dan menunaikan hak sesama, baik saat masih hidup ataupun setelah meninggal.

Saat seorang meninggal, ada empat hak wajib ditunaikan yakni dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dimakamkan. Pemenuhan itu meliputi, pertama, menyediakan kebutuhan terkait empat hak itu, termasuk membiayai jika keluarga atau ahli waris tidak mampu.

Kedua, menyelenggarakan dengan sebaik-baiknya sehingga semua prosesi berjalan sesuai syariat. Selain kewajiban spiritual tersebut, Islam mengajarkan semua muamalah sebagai kewajiban sosial juga ditunaikan.

Di antaranya soal utang-piutang, mengurus keluarga khususnya anak yatim, jual beli, dan urusan muamalah  lainnya. Seorang yang meninggal dunia, apapun keadaannya adalah makhluk Allah yang mulia dan dimuliakan sebagaimana syariat perawatan jenazah.

Pemakaman berasal dari kata “makam”. Secara etimologi, istilah “makam”  derivasi dari bahasa Arab, yakni “maqam”. Secara harfiah maqam berarti tempat tinggal atau tempat berdiri. Dalam pengertian yang luas, maqam berarti kedudukan terhormat.

Maqam (maqamat) dalam sufisme adalah perjalanan seorang hamba menuju kedudukan tertinggi di hadapan Allah. Karena itu, istilah makam (maqam) tak sekadar proses memasukkan jenazah ke liang lahat tetapi mengantarkan ke tempat peristirahatan terhormat.

Apa pun kondisi jasad seorang mayit tetap harus dimuliakan, walaupun secara fisik jasad itu rusak. Mereka yang wafat dengan jasad berlumuran darah karena gugur syahid dimakamkan meski bersimbah darah. Itulah syahid dunia dan akhirat.

Mereka yang wafat karena sakit dan wabah penyakit adalah syahid akhirat, apalagi demi menyelamatkan manusia lainnya dari kematian. Kedudukan mereka sangat terhormat di hadapan Allah. Mereka pahlawan kehidupan dan kemanusiaan.

Sesuai hadis, ulama bersepakat, mereka yang wafat karena menyelamatkan pasien Covid-19 adalah syahid dunia. Jika selama hayat ia beramal saleh, Allah membuka gerbang surga dan  membentangkan “karpet merah”: udhuluha bi salam al-aminin (QS al-Hijr [15]: 46).

Karena itu, sangat tidak bisa dipahami mengapa sekelompok masyarakat menolak pemakaman jenazah Covid-19, apalagi ia seorang perawat pasien corona.

Komunikasi Publik

Banyak faktor melatarbelakangi penolakan pemakaman. Kemungkinan kecil karena faktor agama. Yang sangat mungkin karena ketakutan berlebihan terhadap wabah Covid-19. Ketakutan itu karena minimnya edukasi dan komunikasi yang benar.

Selama ini, penjelasan aparat mengenai Covid-19 tidak lengkap dan cenderung menakut-nakuti. Pemerintah selalu update perkembangan Covid-19.

Sayang sekali, yang sering disebut jumlah kasus  yang terus meningkat baik orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP) maupun  meninggal dunia. Peningkatan jumlah kasus menimbulkan ketakutan massa.

Ketakutan meningkat menjadi kepanikan. Sebagian masyarakat bahkan paranoid. Pertama, lemahnya soliditas dan solidaritas sosial serta keberagamaan masyarakat. Gejala individualisme dan egoisme semakin meningkat. Ini masalah sosial yang serius.

Kedua, pemberitaan media massa dan medsos yang tak benar. Pemberitaan soal Covid-19 yang mendunia membuat mereka kian takut. Ketakutan memuncak dengan kelangkaan obat, alat pelindung diri, harga masker dan kebutuhan keselamatan diri lainnya mahal.

Kecenderungan self-protection dan self-survival inilah yang membuat masyarakat menjadi rejectionist: menolak sesuatu yang dianggap mengancam dan membahayakan. Ketiga, kurangnya koordinasi aparat dengan tokoh umat. Selama ini, pemerintah terkesan jalan sendiri dan menyelesaikan masalah dengan mengedepankan aspek kesehatan dan ekonomi semata.

Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Semarang mengatakan, “Seandainya sejak awal kami diajak bicara, penolakan itu tidak akan terjadi.” Pernyataan itu menunjukkan minimnya komunikasi dengan ulama.

Karena itu, menghadapi kemungkinan pandemi Covid-19 yang meningkat diperlukan tiga langkah strategis. Pertama, peningkatan kualitas dan intensitas komunikasi antara pemerintah dengan seluruh lapisan masyarakat termasuk para tokoh agama.

Kedua, kebijakan yang tegas disertai koordinasi antarlembaga pemerintah di tingkat pusat dan daerah. Publik melihat sinergi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Kesehatan belum baik.

Ketiga, membangun kepercayaan masyarakat dengan penanganan semakin baik, perlindungan keamanan, dan jaminan sosial yang realistis. Masyarakat kian panik dan jenuh dengan retorika.

Mereka yang menolak pemakaman adalah korban komunikasi dan edukasi yang tidak tepat. Kita semua bersedih. Sulit membayangkan bagaimana duka keluarga sang perawat yang pengalamannya ditolak masyarakat. Setelah jasad sang perawat dimakamkan, urusan agama selesai. Insya Allah sang perawat tersenyum bahagia melihat pintu surga terbuka untuknya.

Namun, tugas berat kita belum selesai. Bersama-sama mengobati yang sakit dan mencegah agar wabah tidak menular. Saatnya kita memperbaiki komunikasi dan sinergi agar Covid-19 tidak menjadi pandemi sosial-politik yang merobohkan kehidupan bangsa.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here