Mengetuk Kesadaran Kolektif untuk Jakarta

818
Banjir (Foto: Edwin B/ Obsession Media Grup)

Oleh: Roso Daras (Wartawan dan penggiat teater)

Ambles, amblas, ambyar. Menyedihkan. Usia kota Jakarta tinggal 30 tahun lagi! Itu perkiraan. Bukan sebuah kepastian, terlebih jika ada kesadaran kolektif serta upaya bersama untuk melawan takdir “tenggelamnya kota Jakarta”.

Begitulah. Jakarta sedang jadi sorotan gara-gara banjir dan banjir. Belum enyah genangan air, sudah muncul analisa ilmiah yang cukup menyeramkan.

Singkatnya, Jakarta sedang mengalami proses ambles (turun ke bumi/tenggelam). Jika benar, Jakarta akan amblas (hilang/lenyap/tak muncul-muncul lagi), lalu ambyar (tercerai-berai).

Dalam bahasa ilmiah, fenomena yang terjadi di Jakarta disebut land subsidence. Istilah ini diartikan sebagai peristiwa penurunan permukaan tanah. Diawali dengan publikasi ilmiah berjudul “New Elevation Data Triple Estimates of Global Vulnerability to Sea-Level Rise and Coastal Flooding”, di Jurnal Nature Communications, pada 29 Oktober 2019.

Laporan ilmiah itu menyebutkan, Jakarta dan sejumlah kota lain di dunia terancam ambles pada tahun 2050.

Ahli subsiden tanah dari United States Geological Survey (USGS), Michelle Sneed menyebutkan, tanah di kota Jakarta turun 17 cm setiap tahunnya.

Paralel dengan itu, ahli oseanografi Universitas Diponegoro Semarang, Denny Nugroho menyebutkan, air laut utara Jakarta naik 0,44 centimeter per tahun.

Dua daerah dengan tingkat ke-ambles-an terparah adalah Muara Baru (Jakarta Utara) dan Kalideres (Jakarta Barat). Di kedua daerah itu, penurunan tanah mencapai 1,5 hingga 1,8 meter.

Data satelit dan pemantauan Japan International Cooperation Agency (JICA) merilis laporan berdasar data satelit, daerah-daerah yang mulai ambles, di antaranya Cengkareng Timur, Mal Taman Anggrek, Grogol Petamburan, dengan tingkat penurunan bervariasi.

“Biang keladi” penyebab amblesnya ibu kota adalah pembangunan gedung-gedung pencakar langit yang menjadi beban permukaan tanah. Di samping, pengambilan air tanah yang merajalela serta tidak terkendali.

Penyedotan air tanah secara ngawur juga mengakibatkan intrusi air laut kian deras masuk ke tanah Jakarta.

Atas semua penelitian yang menggusarkan kita itu, bisa saja kita perpanjang deret persoalan, yang kelak bisa kita jadikan kambing hitam penyebab hilangnya Jakarta dari peta dunia.

Sekalipun, aktor intelektualnya adalah “manusia” itu sendiri.

Lebih tepat, jika 30 tahun lagi Jakarta benar-benar ambles, benar-benar tenggelam, benar-benar ambyar, itu terjadi karena kesalahan manusia. Tidak ada sosok lain yang bisa dikambinghitamkan kecuali manusia.

Pembangunan gedung pencakar langit, adalah prakarsa manusia, dan hasil kerja manusia. Dibangun atas izin yang dikeluarkan manusia yang memiliki wewenanga mengeluarkan izin.

Pengeboran air tanah secara membabi buta, dilakukan oleh manusia.

Airnya dikonsumsi untuk kepentingan manusia. Menabrak aturan yang juga dibuat oleh manusia. Terjadi seolah-olah “pembiaran” juga oleh manusia.

Padahal, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2008 tentang Air Tanah.

Selain itu, ada Perda DKI Jakarta Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pajak Air Tanah (“Perda DKI 17/2010”) juncto Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2017 tentang Pemungutan Pajak Air Tanah (“Pergub DKI 38/2017”).

Ada lagi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pedoman Penetapan Nilai Perolehan Air Tanah.

Peraturan Presiden (PERPRES) No 15 tahn 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum.

Masih banyak peraturan dan ketentuan hukum lain yang kalau saja ditaati, bisa jadi Jakarta masih akan berdiri 30 tahun lagi.

Perlukah (Saatnya) pemerintah pusat turun tangan menangani ini?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here