Menelusuri Penyebaran Awal Islam di Jawa

1013

Dan sejak kedatangan Sayid Murtala, dakwah Islam di Gresik dan Surabaya mulai mendapatkan legitimasi dari keluarga kerajaan atau raja Majapahit. Bahkan dakwah Islam mulai berkembang sampai ke Tuban, karena Tuban saat itu adalah pelabuhan utama Majapahit. Makam Sayid Mustafa atau Ibrahim Asmoroqondi justru berada di Tuban yang hal itu menunjukkan Sayid Mustafa berdakwah di Tuban.

Ada jarak yang cukup jauh bila dihitung dari kedatangan Fatimah binti Maimun sampai ke masa Sayyid Mustafa, yaitu sekitar 358 tahun. Dengan demikian perkembangan awal Islam di Jawa, khususnya di Surabaya, Gresik sampai Tuban membutuhkan waktu yang panjang.

Perkembangan sangat signifikan baru dimulai dari kedatangan Sayyid Mustafa dengan putranya yaitu Sayyid Ngali Murtala atau Radin Santri dan Sayyid Ngali Rahmat yang juga dikenal dengan Sunan Ampel.

Dari perkawinan Radin Santri dengan Syarifah Sarah lahir seorang ulama besar saat itu yaitu Sunan Ngudung. Sedang Sunan Ampel mempunyai menantu pemuda Gresik yaitu Jaka Samudra putra Maulana Ishaq yang kemudian dikenal dengan panggilan Sunan Giri karena berkedudukan di Giri Gresik.

Menantu Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Drajat berkedudukan di Lamongan. Sunan Ampel juga punya murid yang akhirnya juga jadi pendakwah penting, yaitu Sunan Bonang berkedudukan di Tuban. Sedang Sunan Bonang punya murid yang akhirnya jadi pendakwah besar pula yaitu Sunan Kalijogo.

Dakwah Islam dari para pendakwah penting tersebut yang kemudian ditambah dengan pendakwah penting lainnya dari Kudus dan Cirebon kemudian dikenal dengan Walisongo menjadi semakin lancar karena hubungan dekat Sunan Ampel dan Raden Santri dengan Raja Majapahit. Raja yang dari istrinya yaitu Andarawati punya anak yang bernama Radin Jimbun. Radin Jimbun pernah ditempatkan di Palembang kemudian ketika pulang ditempatkan menjadi Adipati Demak.

Pada saat kepulangannya, kerajaan Majapahit dilanda kekisruhan internal perebutan kekuasaan. Pada tahun 1478 Girindra Wardana memisahkan diri dari kerajaan Majapahit dan mengangkat dirinya menjadi Raja Wilwatikta dengan wilayah meliputi Daha, Jenggal dan Kediri.

Munculnya Raja Wilwatikta sekaligus menandai keruntuhan awal Majapahit yang tahun tersebut dicatat dalam candra sangkala dengan sebutan Ilang Sirna Kertaning Bumi. Tidak lama atas terjadinya perpecahan tersebut, sebelum Girindra Wardana menyerbu Majapahit, Radin Jimbun adipati Demak yang juga putra mahkota Majapahit membawa pasukan menuju ibu kota Majapahit. Tanpa peperangan yang berarti, Raja Brawijaya Pamungkas kemudian meninggalkan kerajaannya sebagai tanda menyerahkan Majapahit kepada putranya tersebut.

Tahun berikutnya yaitu tahun 1479, Radin Jimbun dengan didukung oleh Walisongo memindahkan ibu kota kerajaan ke Demak dengan ditandai pendirian Masjid Agung Demak, sekaligus mengubah nama Radin Jimbun dengan nama Radin Fatah. Nama yang terinspirasi oleh keberhasilan Mehmet Al-Fath merebut konstantinopel. Kerajaan Demak menandai munculnya kerajaan Islam pertama di Jawa. Dan karena keberhasilan mendirikan negara Islam kemudian dakwah Islam berkembang secara lebih masif dan lebih cepat.

Dengan alur kisah seperti itu, tentu menjadi pertanyaan yang perlu di telaah lebih dalam tentang klaim dakwah model akulturasi. Sebenarnya yang dimaksud akulturasi itu bagaimana? Tulisan ini juga sekaligus membantah tentang peranan etnik China dalam penyebaran Islam khususnya di Jawa. Mungkin hampir tidak ada orang China yang menjadi pendakwah Islam.

Juga tidak ada kultur China yang mewarnai peradaban Islam di Jawa. Justru yang ada adalah bekas kultur Hindu yang berpengaruh pada kuktur Islam di Jawa. Sedang kultur etnik China di Jawa sampai sekarang juga tidak menunjukkan ada pengaruh kultur Hindu maupun Islam. Bahkan sampai sekarang sangat sedikit etnik China di Jawa yang beragama Islam. Jika ada orang China beragama Islam, kulturnya justru berubah karena kuatnya pengaruh syariat Islam dalam membentuk kultur. []

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here