Menelusuri Penyebaran Awal Islam di Jawa

Menelusuri Penyebaran Awal Islam di Jawa
Oleh: Agus Mualif Rohadi (Pemerhati Sejarah) Sering kita dengar bahwa penyebaran Islam khusunya di Jawa oleh Walisongo dilakukan dengan metode akulturasi budaya. Akulturasi yang bagaimana sebenarnya yang dimaksud? Apakah benar kecepatan penyebaran Islam di Jawa karena akulturasi? Atau sebaliknya, apakah ajaran Islam yang mengubah kultur Jawa? Bagaimanakah kisah awal masuknya Islam ke Jawa? Segi Bahasa Orang Jawa abad ke-8 hingga masa Majapahit pada abad ke-12 sampai awal abad-16, untuk memberikan nama-nama dan sebutan-sebutan, kebanyakan berakhiran vokal “oa”, sesuai aksara Jawa yang semuanya berakhiran vokal “oa”. Aksara latin untuk bahasa Indonesia kesulitan menuliskan akhiran “oa”, sehingga kebanyakan ditulis dengan akhiran a meskipun tidak divaca a, atau dituliskan dengan akhiran o tetapi tidak dibaca “o”, tetapi dibaca antara o dan a atau oa. Agak sulit dibuatkan akasara vokalnya secara persis. “Ha na ca ra ka, Da ta sa wa la, Ma da ja ya nya, Ma ga ba tha nga”. Tidak dibaca a tetapi juga tidak dibaca o. Misal, nama Joakoa kadang ditulis Jaka atau Joko, namun antara tulisan dan bacaan berbeda. Ketika Islam masuk ke Jawa, aksara arab tidak mengenal vokal o tetapi ada huruf arab yang dibaca dengan vokal oa. Namun nama-nama Jawa yang berasal dari nama arab tidak di-Jawa-kan tetapi tetap menggunakan nama arab. Misal, nama Ibrahim, Ismail atau Yusuf tidak berubah menjadi Ibrahimoa, Ismailoa atau Yusupoa. Bisa dibandingkan kalau di Rusia nama tersebut berubah menjadi Ibrahimov, Ismailov, Yusupov. Jadi di Jawa tidak ada akulturasi dari nama arab menjadi nama Jawa. Segi Berpakaian Pada masa sampai Majapahit, kalau kita lihat di relief-relief candi Majapahit atau sebelumnya seperti candi Borobudur, Prambanan, Pelataran, orang Jawa laki-laki dan perempuan kebanyakan bertelanjang dada. Kain untuk laki-laki dari pusar ke bawah hingga paha, perempuan dari pusar ke bawah hingga lutut. Hanya wanita bangsawan yang menggunakan kain penutup dada yang disebut kemben. Bahkan di pulau Bali, sampai abad 20 masih banyak wanita dalam berpakaian belum menutup dada. Ketika Islam tersebar di Jawa, baru kemudian dikenal pakaian atau baju yang menutup dari leher sampai ke pinggang bahkan sampai ke paha untuk laki-lakidan kebaya untuk wanita. Walisongo, sebagian besar berpakaian gamis dan bersorban, kecuali Sunan Kalijogo yang berbaju lengan panjang dengan panjang baju sedikit di bawah pangkal paha dengan penutup kepala blangkon. Jadi perubahan itu terjadi justru setelah Islam masuk ke Jawa, karena kaum muslim harus berpakaian dengan menutup aurat. Tidak persis seperti baju gamis, tetapi jelas terpengaruh gamis. Segi Pemanfaatan Peradaban Sebelum Islam masuk, di Jawa lebih dahulu masuk agama Hindu kemudian Budha, namun peradaban dan kultur Hindu lebih dominan hingga berpengaruh pada aksara Jawa. Ajaran Hindu juga disebarkan dengan peraga pertunjukan yang mengisahkan Mahabharata dan Ramayana, yang disebut Wayang Beber. Peraga tokoh tokoh wayang digambar dalam lembaran kertas atau kain, yang gambar tersebut kemudian diceritakan kisahnya oleh dalang. Peraga gambar tokoh pada kertas atau kain di gelar di tanah dan kemudian orang berkerumun mengelilingi mendengarkan uraian kisah oleh dalang. Walisongo yang terkenal memanfaatkan peraga wayang dengan mengubah setingan peraga dan jalan cerita adalah Sunan Giri dan Sunan Bonang. Wayang Beber diubah menjadi Wayang Kulit dengan membuat setiap tokoh wayang berbahan kulit serta perubahan cara peragaan yang berbeda secara signifikan dibanding Wayang Beber. Wayang Beber digelar di tanah, sedang Wayang Kulit digelar di panggung pada bentangan kain secara vertikal. Dan di sisi kiri dan kanan bentangan kain ditancapkan tokoh-tokoh Wayang Kulit. Gelaran Wayang Kulit dilengkapi dengan peralatan lainnya seperti blencong (sumber pencahayaan, karena pertunjukan wayang kulit aslinya justru harusnya dilihat dari balekang kain). Dengan dilihat dari belakang justru gerakan wayang kulit menjadi terlihat lebih dramatis. Blencong sendiri mempunyai makna cahaya dari Tuhan yang menerangi kehidupan. Disamping blencong juga ada kotak tempat wayang, yang mempunyai makna tempatnya alam ruh dan alam kematian, yang kemudian memasuki alam kehidupan ketika wayang dikeluarkan dari kotaknya dan dimatikan (dikuburkan) lagi ketika wayang dimasukan lagi ke kotaknya. Selain itu, ada tambahan peraga seperti gunungan dan lain lain. Juga ada gamelan yang sebelumnya tidak dikenal. Gamelan adalah alat musik khas yang terdiri dari bebeberapa bentuk yang setiap bentuk punya nama, makna dan nada suara yang berbeda beda seperti gong, kenong, dan lainnya. Gamelan ketika mulai ditabuh selain berfungsi untuk mengundang penonton juga bermakna aktifitas kehidupan dimulai. Karena penciptaan gamelan maka seorang wali sampai lebih dikenal dengan nama panggilannya daripada namanya, sendiri yaitu Sunan Bonang. Sunan Giri juga dikenal menciptakan tokoh wayang yang tidak dikenal dalam kisah asli Mahabharata atau Ramayana, yaitu Semar, Gareng dan Petruk. Tiga tokoh penting yang jika tiga tokoh ini muncul maka cerita wayang akan memasuki babak kisruh atau perang dan berakhir dengan kebenaran akan mengalahkan kezhaliman. Kemunculan tiga tokoh wayang yang disebut waktu akan datangnya goro-goro. Bentuk Wayang Kulit tidak seperti manusia, baik bentuk tubuh, hidung, mulut, gigi dan lainnya tidak mirip manusia. Dibuat sedemikian rupa tidak mirip manusia tapi bisa dimengerti seperti sosok manusia. Hal itu untuk menghindari bentuk berhala. Masing-masing bentuk tokoh dan warna kulitnya memberikan gambaran makna, sifat dan kecenderungan perilaku tokoh. Dengan demikian peragaan Wayang Kulit justru jauh lebih menarik dari pertunjukan Wayang Beber hingga akhirnya Wayang Beber hilang dan digantikan Wayang Kulit hingga kini. Dan saat itu pertunjukan Wayang Kulit menjadi alat dakwah Islam. Dalang akan memulai pertunjukannya setelah terlebih dahulu diumumkan bahwa si Dalang akan shalat Isya’ terlebih dahulu dan dilanjutkan berdoa kepada Allah agar pertunjukan bisa berjalan lancar dan selamat. Dengan demikian Dalang pada masa itu adalah tokoh yang disegani oleh masyarakat Jawa. Dalam kehidupan sehari-hari ucapan dan perilaku Dalang menjadi contoh kebaikan pada masyarakat, dan si Dalang juga menjadi tempat bertanya bagi masyarakat tentang seluk beluk kehidupan. Pertunjukan wayang pun menjadi media dakwah Islam. Dakwah dan Kekuasan Bagaimana para Dalang dan pendakwah Islam bisa berjalan lancar di Jawa? Apa hanya karena kemampuan menggunakan peraga wayang milik Hindu? Apakah tidak ada gangguan dari masyarakat yang mayoritas beragama Hindu dan Budha? Ada tiga nama tokoh penting yang tercatat dalam sejarah awal Islam di Jawa sebelum masa Walisongo. Pertama adalah Fatimah binti Maimun, makamnya di Gresik. Kedua adalah As Sayyid Maulana Malik Ibrahim makamnya di Gresik, dan orang ketiga adalah As-Sayyid Ibrahim Asmoro Qondi (Sayid Ibrahim As Samarqandi) makamnya di Tuban. Orang pertama dan tertua adalah Fatimah binti Maimun. Dari prasasti di makamnya, diketahui beliau meninggal pada tahun 1082 M. Jadi pada masa kerajaan singosari sebelum Raja Kertanegara. Dilihat dari nisan kuburnya yang bergaya Kufi dan bentuk bangunan makamnya, maka Fatimah binti Maimun adalah orang yang datang dari Champa (Kamboja dan Vietnam atau Hindia Belakang). Hal itu tidak mengherankan karena pada masa itu kerajaan Singosari sudah mempunyai hubungan dagang dengan Champa. Dapat diduga bahwa Fatimah binti Maimun adalah orang penting dalam rombongan dagang dari Champa yang kemudian menetap di Gresik sebagai daerah pelabuhan. Mungkin dengan keberadaan Fatimah binti Maimun maka masyarakat di Gresik mulai mengenal agama Islam. Orang kedua adalah As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid Barakat Alam. Ada beberapa versi tentang asal-usul As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim, namun yang paling mendekati adalah beliau berasal dari Pasai. Hal tersebut karena As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim datang ke Jawa di Gresik pada tahun 1379 M dan pada masa Raja Majapahit di pegang Ratu Suhita (1399 – 1429). As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim diangkat jadi qadhi Islam (hakim perdagangan) di Gresik yang mengurusi perselisihan perdagangan antara pedagang Pasai dan pedagang Majapahit. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa As-Sayyid Malik Ibrahim memahami bahasa Pasai yang berarti pernah bertempat tinggal di Pasai. Sebagai qadhi Islam, As-Sayid Maulana Malik Ibrahim juga diangkat menjadi Imam masjid. Beliau meninggal pada tahun 1419 M. Salah satu putrinya yaitu Sharifah Sarah binti As Sayyid Maulana Malik Ibrahim yang ketika ayahnya meninggal masih kecil, kemudian hari dinikahkan dengan Radin Santri. Orang ketiga adalah As-Sayyid Ibrahim Asmoro Qondi yang berasal dari Champa. Beliau juga dikenal dengan nama Sayid Mustafa atau Makdum Ibrahim Samarkandi orang suci dari Tulen (Tyulen) putera Sayid Jumadil Kubra. Dari nama tersebut dapat diduga bahwa beliau orang dari Negeri Samarkand kota Tyulen, keturunan Husein bin Ali cucu Rasul yang kemudian berdakwah di Champa. Di negeri Champa kemudian beristri putri bangsawan. Dari putri tersebut lahir dua putera Sayid Mustafa yaitu Radin Pandita yang juga dikenal dengan nama Radin Santri. Radin adalah singkatan dari Rahadian atau Ruhadian yang punya makna ruh yang mulia. Nama Santri mungkin juga menjadi asal-usul istilah santri bagi pelajar di pondok Islam di Jawa. Sedang Radin di Jawa kemudian berubah menjadi Raden karena dialek. Nama pandita juga menunjukkan bahwa Sayid mustafa selama di Champa dikenal sebagai ulama sehingga anaknya diberi nama Pandita. Dalam agama hindu pandita adalah kasta Brahmana. Dari nama-nama tersebut sangat jelas bahwa Champa bukanlah negeri yang terpengaruh oleh China namun terpengaruh oleh Hindia, sehingga Champa dahulu juga disebut Hindia Belakang. Sedang anak Sayid Mustafa yang kedua adalah Raden Rahmat. Istri Sayid Mustafa mempunyai saudara perempuan yang bernama Darawati atau Andarawati yang diperistri oleh raja Majapahit yaitu Pangeran Udara atau Brawijaya Pamungkas. Sekitar tahun 1440, Sayid Mustafa membawa keluarganya termasuk dua putranya pergi ke Jawa untuk mengunjungi saudara istrinya yang menjadi ratu Majapahit, dan akhirnya justru menetap di Jawa. Sebelum ke Jawa, Sayyid Mustafa lebih dahulu singgah di Palembang beberapa lama dan berkenalan dengan adipati Palembang yaitu Ario Damar yang kemudian masuk Islam dan mengubah namanya menjadi Ario Abdullah. Karena masih saudara ratu Majapahit, membuat Sayyid Mustafa dan kekuarganya diterima dengan baik oleh kerajaan dan Radin Santri kemudian diberikan tanah yang asalnya milik seorang tua di Gresik namanya Tandes, yang kemudian dikenal dengan daerah Tandes. Di Tandes Radin Santri diangkat jadi imam masjid di daerah Tandes. Dengan menjadi imam masjid itu, Radin Santri mejadi orang yang sangat dihormati dan kemudian dikenal dengan nama Sayid Ngali Murtala. Sedang Radin Rahmat mendapatkan tanah di Terung dan diangkat menjadi pejabat Majapahit dengan jabatan Pancatanda atau Pecathanda yang mengatur perdagangan di pelabuhan sungai yaitu di Ampel Denta (sekarang di Kali Mas). Radin Rahmat juga diangkat jadi imam masjid di wilayah Ampel Denta. Namanya dikenal dengan Sayid Ngali Rahmat dengan panggilan Pangeran Ngampel Denta. Dari kedudukan Sayid Ngali Murtala dan Sayid Ngali Rahmat menunjukkan bahwa pada masa kedatangan Sayid Mustafa dengan kedua anaknya, agama Islam telah berkembang cukup besar di Gresik dan Surabaya. Sangat mungkin merupakan hasil dari dakwah Islam yang dimulai sejak kedatangan Fatimah binti Maimun yang berlanjut pada masa As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim yang didukung oleh hubungan intens perdagangan antara Singosari dan Majapahit dengan negeri Champa. Dan sejak kedatangan Sayid Murtala, dakwah Islam di Gresik dan Surabaya mulai mendapatkan legitimasi dari keluarga kerajaan atau raja Majapahit. Bahkan dakwah Islam mulai berkembang sampai ke Tuban, karena Tuban saat itu adalah pelabuhan utama Majapahit. Makam Sayid Mustafa atau Ibrahim Asmoroqondi justru berada di Tuban yang hal itu menunjukkan Sayid Mustafa berdakwah di Tuban. Ada jarak yang cukup jauh bila dihitung dari kedatangan Fatimah binti Maimun sampai ke masa Sayyid Mustafa, yaitu sekitar 358 tahun. Dengan demikian perkembangan awal Islam di Jawa, khususnya di Surabaya, Gresik sampai Tuban membutuhkan waktu yang panjang. Perkembangan sangat signifikan baru dimulai dari kedatangan Sayyid Mustafa dengan putranya yaitu Sayyid Ngali Murtala atau Radin Santri dan Sayyid Ngali Rahmat yang juga dikenal dengan Sunan Ampel. Dari perkawinan Radin Santri dengan Syarifah Sarah lahir seorang ulama besar saat itu yaitu Sunan Ngudung. Sedang Sunan Ampel mempunyai menantu pemuda Gresik yaitu Jaka Samudra putra Maulana Ishaq yang kemudian dikenal dengan panggilan Sunan Giri karena berkedudukan di Giri Gresik. Menantu Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Drajat berkedudukan di Lamongan. Sunan Ampel juga punya murid yang akhirnya juga jadi pendakwah penting, yaitu Sunan Bonang berkedudukan di Tuban. Sedang Sunan Bonang punya murid yang akhirnya jadi pendakwah besar pula yaitu Sunan Kalijogo. Dakwah Islam dari para pendakwah penting tersebut yang kemudian ditambah dengan pendakwah penting lainnya dari Kudus dan Cirebon kemudian dikenal dengan Walisongo menjadi semakin lancar karena hubungan dekat Sunan Ampel dan Raden Santri dengan Raja Majapahit. Raja yang dari istrinya yaitu Andarawati punya anak yang bernama Radin Jimbun. Radin Jimbun pernah ditempatkan di Palembang kemudian ketika pulang ditempatkan menjadi Adipati Demak. Pada saat kepulangannya, kerajaan Majapahit dilanda kekisruhan internal perebutan kekuasaan. Pada tahun 1478 Girindra Wardana memisahkan diri dari kerajaan Majapahit dan mengangkat dirinya menjadi Raja Wilwatikta dengan wilayah meliputi Daha, Jenggal dan Kediri. Munculnya Raja Wilwatikta sekaligus menandai keruntuhan awal Majapahit yang tahun tersebut dicatat dalam candra sangkala dengan sebutan Ilang Sirna Kertaning Bumi. Tidak lama atas terjadinya perpecahan tersebut, sebelum Girindra Wardana menyerbu Majapahit, Radin Jimbun adipati Demak yang juga putra mahkota Majapahit membawa pasukan menuju ibu kota Majapahit. Tanpa peperangan yang berarti, Raja Brawijaya Pamungkas kemudian meninggalkan kerajaannya sebagai tanda menyerahkan Majapahit kepada putranya tersebut. Tahun berikutnya yaitu tahun 1479, Radin Jimbun dengan didukung oleh Walisongo memindahkan ibu kota kerajaan ke Demak dengan ditandai pendirian Masjid Agung Demak, sekaligus mengubah nama Radin Jimbun dengan nama Radin Fatah. Nama yang terinspirasi oleh keberhasilan Mehmet Al-Fath merebut konstantinopel. Kerajaan Demak menandai munculnya kerajaan Islam pertama di Jawa. Dan karena keberhasilan mendirikan negara Islam kemudian dakwah Islam berkembang secara lebih masif dan lebih cepat. Dengan alur kisah seperti itu, tentu menjadi pertanyaan yang perlu di telaah lebih dalam tentang klaim dakwah model akulturasi. Sebenarnya yang dimaksud akulturasi itu bagaimana? Tulisan ini juga sekaligus membantah tentang peranan etnik China dalam penyebaran Islam khususnya di Jawa. Mungkin hampir tidak ada orang China yang menjadi pendakwah Islam. Juga tidak ada kultur China yang mewarnai peradaban Islam di Jawa. Justru yang ada adalah bekas kultur Hindu yang berpengaruh pada kuktur Islam di Jawa. Sedang kultur etnik China di Jawa sampai sekarang juga tidak menunjukkan ada pengaruh kultur Hindu maupun Islam. Bahkan sampai sekarang sangat sedikit etnik China di Jawa yang beragama Islam. Jika ada orang China beragama Islam, kulturnya justru berubah karena kuatnya pengaruh syariat Islam dalam membentuk kultur. []

Dapatkan update muslimobsession.com melalui whatsapp dengan mengikuti channel kami di Obsession Media Group