Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

1024

Transformasi Karakter

Bangsa Indonesia mesti melangkah ke depan dengan basis pendidikan dan rekonstruksi nasional yang “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang kokoh. Revolusi mental sebennya harus dimulai dari sistem pendidikan “insan bekecerdasan” yang utuh itu, bukan pada orientasi teknologis dan instrumental yang bersifat satu dimensi.

Bukan pula pada pendidikan yang hanya memproduksi manusia pencari pekerjaan dalam paradigma “link and match” ala pabrik. Jika kebijakan praktis-pragmatis itu dilakukan memang secara jangka pendek akan tampak hasilnya sebagaimana pabrik menghasilkan barang, tetapi dalam jangka panjang dunia pendidikan kehilangan jiwa, pikiran, dan cita-cita “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Lihatlah sekeliling dengan seksama. Ketika korupsi, orientasi materi (materialisme), transaksi politik uang, memuja kesenangan duniawi (hedonisme), kekerasan, kerakusan, dan cara hidup menghalalkan apa saja (oportunisme) mulai meluas dalam kehidupan masyarakat, yang terjadi ialah ketercerabutan manusia dari karakter aselinya selaku insan berakal-budi yang bersih (insan hanif, fi ahsan at-taqwim).

Karena manusia tercerabut dari kesejatian dirinya yang aseli (fitrah), maka manusia produk pendidikan modern menjadi makhluk satu dimensi laksana robot dan kehilangan orientasi hidupnya laksana musafir di sahara fatamorgana. Beragama pun sebatas kulit luar dengan kegarangan sarat fanatik-buta yang menganggap diri paling suci (tazakku, semuci) dan memproduksi sikap serbaekstrem.

Dalam konteks perubahan sosial, perilaku masyarakat mengalami lompatan (future shock) atau disorientasi (kehilangan arah) laiknya musafir terputus arah jalan. Kita teringat narasi klasik “zaman edan” (zaman kegilaan) sebagaimana nukilan pujangga Ranggawarsito seputar hilangnya martabat dan model perilaku luhur.

Ranggawarsito menulis: “Sekarang martabat negara, tampak telah sunyi sepi, sebab rusak pelaksanaan peraturannya, karena tanpa teladan, orang meninggalkan kesopanan, para cendekiawan dan para ahli terbawa, hanyut ikut arus dalam jaman bimbang, bagaikan kehilangan tanda-tanda kehidupannya, kesengsaraan dunia karena tergenang halangan.” (Kuntowijoyo, 1999).

Manusia hasil pendidikan modern yang isntrumental, sering mengalami paradoks.  Mereka katanya menjunjungtinggi “keadaban modern”  seperti hak asasi manusia, demokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan hal-hal yang positif lainnya tetapi perangainya menjadi “buas” seperti hewan, bahkan lebih buas karena mati potensi qalbunya (QS Al-‘Araf: 179).

Berebut kekuasaan, harta, dan kesenangan duniawai tidak jauh beda seperti masyarakat di zaman batu, bahkan dengan mengatasnamakan agama dan kitab suci.  Anak-anak, perempuan, dan siapapun yang lemah menjadi korban kekerasan dan pelecehan. Alam dirusak yang melahirkan kebakaran hutan, eksploitasi sumberdaya alam, penguasaan kekayaan negara oleh segelintir orang, serta  tindakan-tindakan lain yang merugikan kehidupan sesama dan semesta.

Korupsi, penyelewengan, dan segala tindakan yang berlawanan dengan nilai-nilai moral meluas dalam kehidupan. Di tanah air bahkan demonstrasi sering berujung anarki disertai  kekerasan, vandalisme, dan keonaran seolah manusia Indonesia kehilangan karakter yang relijius, Pancasilais, dan berkebudayaan luhur sebagaimana dijadikan klaim keindonesiaan yang autentik.

Sebagian orang atau kelompok seakan senang manakala keonaran dan anarki sosial itu terjadi untuk dicarikan kambing-hitam dan tempat legitimasi kesalahan dan kepentingan politik tertentu. Kekuasaan di banyak tempat disalahgunakan. Radikalisme pun menjadi komoditi karena mendatangkan keuntungan materi dan hegemoni. Sesama anak bangsa bertumbuh sikap saling benci, syakwangka, tidak percaya, permusuhan, bahkan terjangkiti  virus  homo homini lupus.

Dalam analisis Berger (1983), manusia modern yang instrumental mengalami “anomie”  dan “chaos” yakni suatu keadaan setiap individu manusia kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan hidup dengan sesamanya, sehingga kehilangan petunjuk dan makna hidup yang berarti. Karenanya diperlukan transformasi karakter bangsa berbasis nilai agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur bangsa yang autentik sebagai “kanopi suci” kehidupan.

Transformasi karakter luhur seperti itu hanya dapat dilakukan dalam dunia pendidikan dan rekomstruksi perikehidupan kebangsaan yang berorientasi pada membangun kembali basis karakter dan perilaku manusia Indonesia yang utuh dalam perspektif “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Era digitalisasi 4.0 justru jangan mereduksi dunia pendidikan dan perikehidupan kebangsaan untuk dijadikan pabrik yang melahirkan manusia modular ala robot, tetapi harus menghasilkan insan berkarakter mulia yang berkecerdasan. Revolusi mental bahkan harus memperoleh pijakan, arah, dan perwujudan pada orientasi pendidikan karakter yang multidimensi itu.

Di sinilah pendidikan dan rekonstruksi kebangsaan berbasis “mencerdaskan kehidupan bangsa” menjadi niscaya jika Indonesia berkehendak untuk menjadi negara dan bangsa maju di era posmodern dengan karakter keindonesiaannya yang kokoh sebagaimana dicita-citakan para pejuang dan pendiri Republik ini!

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here