Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

1037

Orientasi Satu Dimensi

Bangsa Indonesia tidak akan tiba-tiba maju dan mampu menghadapi serta berkualitas unggul di era revolusi industri 4.0 secara instan dan dangkal. Perlu gerakan pendidikan dan rekonstruksi nasional yang “mencerdaskan kehidupan bangsa” secara sistematis dan berkelanjutan melalui proses yang “long term” atau jangka panjang dan multidimensi.

Apalah artinya generasi bangsa berkeahlian secara teknis atau instrumental dalam penguasaan teknologi informasi dan aspek kognisi semata tanpa topangan basis karakter dan budaya cerdas yang dibentuk secara tersistem dan terus menerus melalui pendidikan nasional dan rancang-bangun perikehidupan kebangsaan yang mapan berkemajuan.

Boleh jadi kita sebagai bangsa secara kolektif abai dengan warisan para pendiri negeri yang sangat berharga ini, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa! Sehingga yang menyeruak ke permukaan ialah sederet jiwa, pikiran, sikap, dan tindakan yang instan dan kerdil yang bermakna ketidakcedasan.

Pendidikan pun seolah harus dibawa ke serba teknologi digital dan urusan ekonomi, padahal pendidikan yang benar harus sepenuhnya urusan membangun akal budi secara luas, termasuk mendidik karakter bangsa secara berkelanjutan. Dalam bait lagu Indonesia Raya sangatlah terang: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”. Proses membangun jiwa-raga dan akal-budi sungguh tidak dapat melompat secara tiba-tiba.

Pendidikan dalam konteks dunia industri dan teknologi informasi yang canggih sekalipun tidak akan mampu bertahan lama manakala sumberdaya manusianya dibentuk —dalam istilah Alvin Toffler— sebagai “the modular man” (insan modular) seperti robot keluaran pabrik. Mereka mungkin secara teknis berkeahlian tinggi, tetapi kehilangan orientasi kehidupan (disorientation) karena tidak memiliki basis karakter dan budaya yang kokoh dalam menghadapi dunia modern.

Akibatnya, sosok-sosok anak manusia yang dihasilkan mengalami kejutan masa depan (the future shock), ketika kemajuan dunia modern indutsrial dan telnologis itu tidak lagi mampu diimbangi dengan mentalitasnya yang mencukupi seperti jujur, terpercaya, mandiri, beretos kerja tinggi, gigih, toleran, berjiwa sosial, dan berbudi luhur.

Dunia pendidikan baik formal maupun informal dan nonformal yang menggenjot kecerdasan “instrumental” tanpa landasan pendidikan karakter dan kebudayaan yang kokoh akan melahirkan apa yang disebut William Ogburn sebagai “cultural lag” atau kesenjangan budaya. Dalam masyarakat yang mengalami kesenjangan budaya terdapat kondisi  kehidupan materi  jauh lebih maju ketimbang budaya spiritual. Hal-hal serba inderawi seperti kesejahteraan fisik, kemampuan berteknologi dan digitalisasi berkembang cepat mengikuti deret ukur sementara ketahanan moral, etika, life-skill, dan kemampuan sosial tertinggal mengikuti deret tambah.

Robert Marcuse, folosof dan sosiolog Mazhab Frankfurt, bahkan dengan ekstrem memperkenalkan istilah “one-dimensional man” dalam kehidupan masyarakat modern. Manusia hanya menjadi makhluk satu dimensi yang menguasai dan dikuasi teknologi, sehingga pandangan hidupnya serba praktis dan teknologis. Ilmu pengetahuan yang dikuasai bersifat operasional berbasis filsafat positivisme, sehingga memandang dunia serba determinan tunggal.

Kemajuan hanya dicandra dengan hal-hal serba kuantitatif, sehingga kehilangan daya dan nilai-nilai kemanusiaan yang kualitatif dan substantif. Masyarakat dari luar tampak rasional, tetapi nalar dan tindakannya irasional. Manusia modern terdegradasi oleh kapitalisme bendawi sehingga yang dikenali dari dirinya hanyalah komoditas yang mereka miliki, bukan sesuatu yang bersifat eksistensial seperti nilai rasio, moral, dan kebudayaan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here