Membentuk Pemuda Bervisi Aswaja

1009

Oleh: Ahmad Tavip Budiman, S.Ag. M.Si**

Masalah pemuda memang menarik untuk dibahas, sebab mereka memiliki peran penting dalam membangun masyarakat, negara, dan peradaban. Sumber daya potensi sekaligus emosi yang dimiliki pemuda betapa besar.

Ironi jika tidak melibatkan pemuda ke dalam berbagai aktivitas yang positif dan konstruktif, membina jiwa mereka secara rutin dengan siraman rohani, membentengi mereka dengan tausiyah agar tidak terjebak ke dalam perbuatan nista, zina, dan kejahatan, serta mengajari mereka dengan teladan kebaikan orangtua.

Kaderisasi pemuda menjadi salah satu amanat Rasulullah ﷺ yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Aku pesankan agar kalian berbuat baik kepada para pemuda, karena sebenarnya hati mereka itu lembut. Allah telah mengutus aku dengan agama yang lurus dan penuh toleransi, lalu para pemuda bergabung memberikan dukungan kepadaku. Sementara para orang tua menentangku. Lebih lanjut, salah seorang sahabat kenamaan Rasulullah  ﷺIbnu Abbas pernah berkata, Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan pemuda. Dan seorang alim tidak diberi ilmu pengetahuan oleh Allah melainkan di waktu masa mudanya”.

BACA JUGA: Guru Bahagia: Sukses dan Mulia

Jika masih memiliki hati nurani yang bersih, tentu umat akan mengelus dada menyaksikan episode demi episode keterpurukan umat Islam di berbagai segi kehidupan. Lemahnya aqidah, mental, fisik, dan skill pemuda muslim turut memberikan andil keterpurukan umat saat ini.

Dan, tidak mustahil ini akan terus berlanjut bila tidak dilakukan perbaikan bagi pemuda untuk melanjutkan estafeta keislaman rakyat dan bangsa Indonesia. Maka, untuk membenahi ini semua adalah dengan cara memberdayaan (empowering) pemuda sebagaimana yang telah dipraktikkan oleh Rasulullah ﷺ  pada awal-awal Islam.

Pemuda, No Time for Ecek-ecek

Sumber daya potensi sekaligus emosi yang dimiliki pemuda sangat besar menjadikan pemuda tidak boleh melakukan hal yang sia-sia atau tidak berguna, apalagi hal-hal negatif. Membuang-buang waktu atau melakukan perbuatan yang tidak berfaidah tidak sesuai dengan spirit keislaman.

Seorang muslim yang paling baik adalah yang mengelola waktunya dengan baik dan berbuat pada hal-hal yang bermanfaat.

مِن حُسنِ إِسلَامِ المَرءِ تَركُهُ مَا لَا يَعنِيهِ

“Termasuk kebaikan Islam seseorang adalah ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat,” (HR. At-Tirmidzi).

Pemuda harus disibukkan dengan beragam aktifitas yang menjadikan dirinya makin terasah dan meningkat kompetensinya. Adalah salah jika memahami masa muda adalah masa pencarian jati diri, masa hura-hura, dan masa bersantai ria yang kesemuanya menjadikan pemuda bermental permisif, banalis, dan egois.

BACA JUGA: Hiduplah dengan Penuh Syukur

Rasulullah ﷺ  bersabda,

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

“Ada dua nikmat (dari Allah Ta’ala) yang kurang diperhatikan oleh banyak manusia (yaitu) kesehatan dan waktu luang,” (HR. Bukhari).

Maka, hendaknya seorang pemuda berupaya mengisi waktu luangnya dengan kegiatan yang cocok dan bermanfaat untuknya, seperti membaca, menulis, berwiraswasta atau kegiatan lainnya, untuk menghindari kekosongan aktifitas dirinya, dan menjadikannya sebagai anggota masyarakat yang berbuat kebaikan untuk dirinya dan orang lain.

إن الشباب والفراغ والجدة مفسدة للمرء أي مفسدة

“Sesungguhnya masa muda, kekosongan, dan kekayaan adalah sumber kerusakan bagi seseorang.”

Selain itu, pemuda harus mampu memilih teman yang baik dan sumber-sumber bacaan lain yang akan menumbuhkan dalam hatinya kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya ﷺ, serta menyuburkan keimanan dan amal shaleh dalam dirinya.

Sebab, Hal ini sangat mempengaruhi akal, pikiran dan tingkah laku para pemuda. Oleh karena itulah, Rasulullah ﷺ bersabda,

المرء على دين خليله، فلينظر أحدكم من يخالل

“Seorang manusia akan mengikuti agama teman dekatnya, maka hendaknya salah seorang darimu melihat siapa yang dijadikan teman dekatnya,” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim).

BACA JUGA: Inti Ibadah adalah Akhlak

Thus, masa muda adalah masa penentu bagi diri seseorang. Dan, pemuda adalah penentu keberlangsungan umat generasi mendatang. Umat tidak dapat berharap lebih banyak kecuali kepada pemuda. Sebab, dalam diri pemuda segala potensi serba optimal. Masa depan mereka masih panjang.

Maka penting mendidik para pemuda untuk berjiwa mandiri. Tidak pantas pemuda selalu bergantung pada kedua orangtuanya, apalagi membangga-banggakan kharismanya. Pepatah Arab mengatakan,

ليس الفتى من يقول كان أبي، ولكن الفتى ها أنا ذا

“Pemuda itu bukan yang berkata ini ayahku, tapi yang berkata inilah aku.”

Syaikh Mushthafa Al-Ghalayaini dalam kitab ‘Izhatun Nasyi’in mengatakan, inna fi yadi al-syubban amral ummah, wa fi iqdamihim hayataha. Sesungguhnya di tangan generasi muda-lah, nasib bangsa ini bergantung; dan melalui keberanian merekalah keberlangsungannya terjamin.

Sebab, hanya pemuda sajalah yang dipenuhi jiwa optimis, percaya diri dan cita-cita. Jika keraguan, ketakutan dan keputusasaan telah mewabah dalam diri seluruh generasi muda, maka bukan tidak mustahil Indonesia akan menjadi negara terbesar yang dipenuhi oleh generasi lapuk.

Oleh karena itu, umat yang beridentitas adalah umat yang membina generasi mudanya agar tidak terputus dari silsilah mata rantai nilai dan peradaban yang telah dibangun oleh generasi pendahulu (salafussoleh).

Maka, ajaran-ajaran Islam wajib ditanamkan agar generasi muda berkualitas, benar, dan berintegritas. Sehingga akan tercipta manusia-manusia penggerak perubahan dan pembangun peradaban.

Mencontoh Pemuda dalam Al-Quran

Al-Quran dengan indahnya telah memberikan kisah teladan para gua (ashabul kahfi) yang terkenal kokoh iman dan teguh pendirian dalam memegang prinsip kebenaran. Allah SWT memujinya,

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk,” (QS Al-Kahfi: 13).

Teladan pemuda idaman juga telah dipertunjukkan oleh Nabi Ibrahim ketika masa remajanya. Seperti tertera di dalam kalam-Nya,

قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ

“Mereka berkata: Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim,” (QS Al-Anbiya: 60).

Rasulullah ﷺ pun memberikan jaminan keselamatan di hari akhirat kelak kepada pemuda yang menghabiskan masa mudanya untuk beribadah kepada Allah SWT, pemuda yang gemar melakukan aktivitas ibadah di masjid, dan pemuda yang sanggup menahan gejolak nafsunya manakala berhadapan dengan godaan syahwat perzinaan.

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ … وَشَابٌّ نَشَأَ فِى عِبَادَةِ رَبِّهِ

“Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan (Arsy-Nya) pada hari yang tidak ada naungan (sama sekali) kecuali naungan-Nya: …Dan seorang pemuda yang tumbuh dalam ibadah (ketaatan) kepada Allah,” (HR. Bukhari dan Muslim).

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ … وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ، وَجَمَالٍ فَقَالَ: إِنِّي أَخافُ اللَّه

“Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan (Arsy-Nya) pada hari yang tidak ada naungan (sama sekali) kecuali naungan-Nya: … Dan seorang lelaki yang dibujuk perempuan terpandang dan cantik tapi dia berkata Sesungguhnya aku takut kepada Allah Tuhan semesta alam,” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (Aswaja)

Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (Aswaja) adalah salah satu aliran pemahaman teologis (Aqidah) Islam. Pemahaman teologi Aswaja ini diyakini sebagian besar umat Islam sebagai pemahaman yang benar yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ kepada para sahabatnya.

Kemudian secara turun-temurun faham Aswaja diajarkan kepada generasi berikutnya (Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in) dan selanjutnya diteruskan oleh generasi-generasi berikutnya sehingga sampai kepada kita.

Secara ideologi politik penganut Aswaja juga sering disebut dengan kaum Sunni. Istilah ini sering diantonimkan dengan kaum Syi’i. Hal ini pada awalnya terjadi karena adanya perbedaan pandangan di kalangan para sahabat Nabi ﷺ mengenai kepemimpinan setelah wafatnya Nabi ﷺ.

Setelah itu persoalannya berlanjut menjadi berkembang ke dalam berbagai perbedaan pada aspek-aspek yang lain, terutama pada aspek aqidah dan fiqih. Inilah realitas sejarah perjalanan umat Islam. Dan perlu untuk diketahui bahwa mayoritas umat Islam di dunia ini adalah berfaham Aswaja (kaum Sunni).

Aqidah Aswaja dinisbahkan pada aliran teologi Asy’ariyah dan Maturidiiyah karena mereka berpegang kuat pada sunah Nabi ﷺ dan juga merupakan kelompok mayoritas dalam masyarakat Islam. Sedangkan dalam berfiqih mereka menjadikan empat mujtahid besar, Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali sebagai rujukan utamanya.

Paham Aswaja adalah paham yang benar karena didasari dengan dalil-dalil naqli (Al-Quran dan Sunnah Rasulullah ﷺ) dan ‘aqli, maka paham Aswaja wajib dipertahankan dan dilestarikan.

At-tawassuth, al-i’tidal, at-tawazun dan at-tasamuh adalah nilai-nilai ajaran luhur yang ternyata sangat efektif dalam mendakwahkan Islam di mana saja, termasuk di Indonesia. Maka, terutama para pemuda, berkewajiban mengaplikasikannya dalam memperjuangkan faham Aswaja yang sebenarnya sehingga umat Islam dapat menjadi rahmatan lil-‘alamin.

Ramadhan Momen Pengukuhan Aswaja

Ibadah shalat Tarawih setiap jedanya diselingi dengan bilal. Bilal biasanya menyebutkan empat al-khulafa ar-rasyidun secara sistematis atau berurutan. Penyebutan empat al-khulafa ar-rasyidun bukan tanpa alasan dan tujuan. Itu merupakan bagian dari meneguhkan dakwah Aswaja di Tanah Air sejak awal persentuhan Islam di kepulauan Melayu-Nusantara.

Dalam dakwah Islam di Nusantara ini tidak luput dari upaya penunggangan aliran Syi’ah yang sangat membenci para sahabat Nabi ﷺ terutama Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan.

Untuk melawan infiltrasi Syi’ah, maka para ulama membuat dialog atau tanya jawab terkait keridhaan dan pengakuan jamaah akan al-khulafa ar-rasyidun. Dialog atau tanya jawab antara bilal dengan jama’ah shalat tarawih dibacakan setiap selepas salam shalat tarawih. Berikut ini redaksinya:

الخليفة الأول أمير المؤمنين سيدنا أبو بكر الصديق، هل ترضون عنه؟ نرضى عنه

Khalifah pertama adalah pemimpin orang-orang beriman Abu Bakar ash-Shiddiq. Apakah kalian semua ridha? tanya bilal. Kami ridha, jawab jamaah.

الخليفة االثانى أمير المؤمنين سيدنا عمر بن الخطاب، هل ترضون عنه؟ نرضى عنه

Khalifah kedua adalah pemimpin orang-orang beriman Umar bin Khattab. Apakah kalian semua ridha? tanya bilal. Kami ridha, jawab jamaah.

الخليفة الثالث أمير المؤمنين سيدنا عثمان بن عفان، هل ترضون عنه؟ نرضى عنه

Khalifah ketiga adalah pemimpin orang-orang beriman Utsman bin Affan. Apakah kalian semua ridha? tanya bilal. Kami ridha, jawab jamaah.

الخليفة الرابع أمير المؤمنين سيدنا علي بن أبي طالب، هل ترضون عنه؟ نرضى عنه

Khalifah keempat adalah pemimpin orang-orang beriman Ali bin Abi Thalib. Apakah kalian semua ridha? tanya bilal. Kami ridha, jawab jamaah.

Atau, dalam redaksi lain:

الخليفة الأول أمير المؤمنين سيدنا أبو بكر الصديق! رضي الله عنه

Khalifah pertama adalah pemimpin orang-orang beriman Abu Bakar ash-Shiddiq, ucap bilal. Semoga Allah senantiasa meridhainya, jawab jamaah.

الخليفة االثانى أمير المؤمنين سيدنا عمر بن الخطاب! رضي الله عنه

Khalifah kedua adalah pemimpin orang-orang beriman Umar bin Khattab, ucap bilal. Semoga Allah senantiasa meridhainya, jawab jamaah.

الخليفة الثالث أمير المؤمنين سيدنا عثمان بن عفان! رضي الله عنه

Khalifah ketiga adalah pemimpin orang-orang beriman Utsman bin Affan, ucap bilal. Semoga Allah senantiasa meridhainya, jawab jamaah.

الخليفة الرابع أمير المؤمنين سيدنا علي بن أبي طالب! رضي الله عنه

Khalifah keempat adalah pemimpin orang-orang beriman Ali bin Abi Thalib, ucap bilal. Semoga Allah senantiasa meridhainya, jawab jamaah.

Tentu dialog ini akan menyingkirkan kelompok atau aliran yang sangat membenci bahkan melaknat para sahabat Rasulullah ﷺ. Sehingga, dakwah Aswaja di tengah-tengah masyarakat Indonesia terus terjaga hingga hari ini.

Walhal, dengan sendirinya mereka akan menyingkir dan tidak melakukan infiltrasi di tengah-tengah komunitas Aswaja. Sebab, meridhai empat al-khulafa ar-rasyidun terutama Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan hanya akan membuat kalangan pembencinya dan pelaknatnya panas dingin.

Maka, sudah sepatutnya setiap tradisi keislaman yang telah ada perlu dipahami filosofinya sehingga umat tidak gegabah dalam menilai tradisi sehingga cenderung membid’ahkan. Padahal keislaman kita hari ini tidak lepas dari jerih payah para ulama terdahulu. Tanpa wasilah jihad ulama dalam mendakwahkan ajaran Aswaja apakah bisa kita memastikan bahwa pancaran cahaya Islam hadir dalam diri ini?

Akhirul Kalam

Sudah semestinya penguatan pemuda menjadi program bersama, kerja kolektif, dan rencana strategis umat Islam. Sebuah keharusan kepedulian terhadap pemberdayaan pemuda menjadi mainstream dalam gerakan dakwah, tarbiyah, ilmiyyah (keilmuan) dan iqtishadiyyah (ekonomi) umat Islam. Jangan sampai potensi pemuda disalahgunakan oleh mereka yang tidak peduli dengan keberlangsungan dan kemajuan umat Islam di Tanah Air.

Tidak ada jalan atau cara lain kecuali membentuk generasi muda berwatak ASWAJA. Berakhlak ashabul kahfi, berakidah lurus seperi Nabi Ibrahim, pecinta sifat-sifat mulia para nabi Allah azza wajalla, dan Nabi Muhammad ﷺ serta para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Mari, bersama membangun kesadaran akan pentingnya peran pemuda hari ini, esok, dan generasi mendatang.

Wallahu a’lam bish shawab.

 


**Penulis adalah Anggota MUI Kota Bogor, Ketua DMI Kecamatan Bogor Selatan, Ketua FANANIE Center Bogor, Qismu A’wan PC NU Kota Bogor.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here