Kesungguhan Ulama Belajar Ilmu Agama (1)

2065

Muslim Obsession – Para ulama, dari zaman sahabat Nabi hingga saat ini, menunjukkan keseriusan yang begitu besar dan usaha yang begitu hebat untuk mempelajari ilmu agama.

Usaha mereka ini, memberikan pemahaman kepada kita seberapa besar kedudukan ilmu agama menurut mereka. Seberapa mahal ilmu itu hingga layak dicurahkan usaha yang keras untuk mendapatkannya.

Umar bin Khatab

Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari bahwasannya Umar bin Khatab berkata, “Aku dan tetanggaku seorang Anshar (yakni Aus bin Khauli), seorang dari bani Umayyah bin Zaid, kami saling bergantian mendatangi majelis Rasulullah. Ia datang pada suatu hari dan aku pada hari lainnya.

Apabila aku yang menghadiri majelis, akan aku sampaikan kepadanya tentang wahyu dan penjelasan lainnya pada hari itu. Apabila ia yang datang, ia pun melakukan hal yang sama.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitab Al-‘Ilm 89).

Abdullah bin Abbas

Abdullah bin Abbas pernah bercerita tentang perjalanannya mempelajari agama. Ia berkisah, “Ketika Rasulullah wafat, aku berkata kepada seorang laki-laki Anshar, ‘Wahai Fulan, marilah kita bertanya kepada sahabat-sahabat Nabi, mumpung mereka masih banyak (yang hidup) saat ini’.

Namun, laki-laki Anshar itu menjawab, ‘Mengherankan sekali kau ini, wahai Ibnu Abbas! Apa kau anggap orang-orang butuh kepadamu, sementara di dunia ini ada tokoh-tokoh para sahabat Rasulullah sebagaimana yang kau lihat?’

Ibnu Abbas melanjutkan, ‘Aku pun meninggalkannya. Aku mulai bertanya dan menemui para sahabat Rasulullah. Suatu ketika, aku mendatangi seorang sahabat untuk bertanya tentang suatu hadits yang kudengar bahwa dia mendengarnya dari Rasulullah. Ternyata dia sedang tidur siang. Lalu aku rebahan berbantalkan selendangku di depan pintunya dan angin menerbangkan debu ke wajahku. Begitu keadaanku sampai ia keluar.

Ketika ia keluar, ia terkejut dengan kehadiranku. Ia berkata, ‘Wahai putra paman Rasulullah, kenapa engkau ini?’ tanyanya. ‘Aku ingin mendapatkan hadits yang kudengar engkau menyampaikan hadits itu dari Rasulullah. Aku ingin mendengar hadits itu darimu,’ jawabku.

‘Mengapa tidak kau utus saja seseorang kepadaku agar nantinya aku yang mendatangimu?’ katanya. ‘Aku lebih berhak untuk datang kepadamu,’ jawabku.

Setelah itu, ketika para sahabat telah banyak yang meninggal, orang tadi (dari kalangan Anshar tadi) melihatku dalam keadaan orang-orang membutuhkanku. Dia pun berkata padaku, ‘Engkau memang lebih cerdas daripada aku’.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/310).

Abdullah bin Abbas menjelaskan kisah ini, kisah kesungguhannya belajar agama. “Aku pernah datang ke rumah Ubay bin Ka’ab. Saat itu ia sedang tidur. Kutunggu ia sambil tidur siang di depan pintu rumahnya. Kalau Ubay tahu, pasti dia membangunkanku, karena dekatnya kedudukanku (sepupu) dengan Rasulullah. Tapi aku tidak suka mengandalkan hal itu.”

Dalam riwayat lain, beliau menyatakan, “Aku mendekati tokoh-tokoh sahabat Rasulullah dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Aku bertanya kepada mereka tentang peperangan Rasulullah. Juga tentang ayat-ayat Al-Quran. Setiap sahabat yang kudatangi pasti senang dengan kedatanganku karena kedekatan nasabku dengan Rasulullah.

Aku bertanya kepada Ubay bin Ka’ab. Karena, ia adalah seorang yang dalam ilmunya. Aku bertanya tentang ayat-ayat Al-Quran yang turun di Madinah. Ia menjawab, ‘Di Madinah diturunkan 27 surat dan selainnya di Mekah’.” (Ibnu Saad dalam Ath-Thabaqat Al-Kubra, 2/371).

Asy-Sya’bi

Beliau adalah seorang ulama tabi’in. Ia pernah ditanya, “Dari mana kau peroleh seluruh ilmumu?” Ia menjawab, “Dengan cara tidak bersandar (bermalas-malasan). Melakukan safar ke berbagai daerah. Sabar, sebagaimana sabarnya keledai. Bersegera sedari pagi sebagaimana burung gagak.” (Adz-Dzahabi dalam Tadzkirah Al-Huffazh, 1/81).

Imam Asy-Syafi’i

Lihatlah bagaimana Imam Asy-Syafi’i berlelah letih dalam belajar, hingga ia mencapai derajat yang kita ketahui saat ini. Beliau bercerita tentang proses belajarnya.

“Aku telah menghafalkan Al-Quran saat berusia 7 tahun. Menghafal Al-Muwaththa (buku hadits yang disusun Imam Malik) saat berusia 10 tahun.” (Abu Al-Hajjaj Al-Mizzi dalam Tadzhib Al-Kamal, 24/366).

Menurut sebagian orang, alangkah beratnya masa kanak-kanak Imam Asy-Syafi’i. Namun apa yang ia capai di masa kecil melahirkan orang sekelas dirinya di saat dewasa. Melalui dirinya, Allah memberikan manfaat kepada umat manusia, yaitu kemanfaatan berupa ilmu.

Tidak hanya untuk orang-orang di zamannya saja. Tapi manfaat tersebut terus terasa hingga jauh dari masa hidupnya. Hingga masa kita sekarang ini.

Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Ketika aku telah menghafalkan Al-Quran (30 juz), aku masuk ke masjid. Aku mulai duduk di majelisnya para ulama. Mendengarkan hadits atau pembahasan-pembahasan lainnya.

Aku pun menghafalkannya juga. Ibuku tidak memiliki sesuatu yang bisa ia berikan padaku untuk membeli kertas (buku untuk mencatat). Jika kulihat bongkahan tulang yang lebar, kupungut lalu kujadikan tempat menulis. Apabila sudah penuh, kuletakkan di tempayan yang kami miliki.” (Ibnu Al-Jauzi dalam Shifatu Shafwah, 2/249 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq, 51/182).

Saat beliau mulai beranjak dewasa, antara usia 10-13 tahun, beliau butuh kertas untuk menulis apa yang telah dipelajari, tapi tidak ada uang untuk membeli kertas-kertas itu. Ia pergi ke suatu tempat untuk mendapatkan kertas yang telah terpakai di satu sisi halamannya. Separuh lembar yang kosong itu, beliau gunakan untuk mencatat ilmu (Abu Al-Hajjaj Al-Mizzi dalam Tadzhib Al-Kamal, 24/361).

Ibnu Abi Hatim mendengar cerita dari Al-Muzani, bahwasannya Imam Asy-Safi’i pernah ditanya, “Bagaimana obsesimu terhadap ilmu?” Imam Asy-Syafi’i menjawab, “Ketika aku mendengar suatu kalimat yang belum pernah kudengar, maka seluruh anggota badanku merasakan kenikmatan sebagaimana nikmatnya kedua telinga saat mendengarkannya.”

Beliau juga ditanya, “Bagaimana semangatmu dalam mendapatkannya?” Ia menjawab, “Sebagaimana orang yang bersemangat mengumpulkan harta dan pelit membaginya merasakan kenikmatan terhadap harta.”

Beliau ditanya pula, “Bagaimana engkau menginginkannya?” “Aku menginginkannya sebagaimana seorang ibu yang kehilangan anaknya, tidak ada yang dia ingin kecuali anaknya,” jawabnya.

Derajat imam (pemimpin) dalam ilmu itu tidak diperoleh dengan santai-santai. Banyak hal yang harus dikorbankan.

Sebagaimana kata Ibn Taimiyah, “Sesungguhnya kedudukan keimaman dalam agama hanya didapatkan dengan kesabaran dan keyakinan.” (Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, 3/358).

Allah juga mengajarkan kita sebuah doa, “Dan jadikanlah kami pemimpin orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan [25]: 74).

Menurut Abdullah bin Abbas, maksud ayat ini adalah “Jadikan kami pemimpin-pemimpin yang diteladani dalam kebaikan.” (Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quran Al-Azhim, 3/439). (Vina)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here