Kehidupan Mewah Asatidz Selebritis, Bolehkah?

887

Oleh: Drs. H. Tb Syamsuri Halim, M.Ag (Pimpinan Majelis Dzikir Tb. Ibnu Halim dan Dosen Fakultas Muamalat STAI Azziyadah Klender)

Judul di atas terinspirasi dari kehidupan mewah para ‘asatidz selebritis’ yang menyilaukan mata umat. Berikut ini pembahasannya:

Barang itu dikatakan mewah karena kita melihat dari berbagai macam sudut dan kelas, bila sesama kelas penikmat barang mewah tentunya biasa-biasa saja, akan tetapi bila berada di kelas yang paling bawah maka itu dianggap mewah karena dilihat dari posisinya.

Barang Mewah itu Relatif

Misalnya pakaian bisa dikatakan mahal bukan hanya kualitas yang mempengaruhi, tapi ternyata ada nama modeling, peragaan serta perancang busana yang ternama juga ikut mempengaruhi harga sehingga menjadi mahal.

Apalagi jika dikatakan stoknya yang terbatas, maka jadilah pakaian itu mahal dan dikategorikan barang mewah untuk kebanyakan orang.

Sebenarnya, dikatakan pakaian itu mewah tergantung dari sudut pandangnya. Jika antar perancang dan juga orang-orang borjuis itu biasa-biasa saja, namun akan terasa mewah jika kelas bawah yang melihatnya. Sudut pandang inilah yang dinamakan relatif.

Suatu pandangan lagi di tengah-tengah masyarakat, “Barang itu dikatakan mahal jika kita tidak punya uang. Tapi jika kita punya uang, barang yang dianggap mahal pun akan murah.”

Di tahun 90-an, misalnya, orang memakai handphone dianggap memiliki barang mewah, karena tidak semua orang bisa membelinya.

Tapi di tahun 2000-an semua orang bisa membeli handphone. Mulai dari pejabat, artis, sopir, kenek, tukang gorengan, pemulung, anak SD bahkan mungkin juga Balita sudah mahir main handphone. Jadi yang tadinya barang mewah sudah tidak lagi menjadi barang mewah, turun kelas.

Semua sebutan barang mewah, rumah mewah, kolam renang mewah tergantung dari posisi dan kelas sosial mana kita melihat.

Apakah Kemewahan itu Haram?

Pertanyaan itupun bersifat relatif. Di atas sudah dijelaskan bahwa barang dinilai mewah karena tidak semua orang bisa memiliki dan mampu membelinya.

Nah.. jika ada orang kaya, dan dia terbiasa dengan kehidupan mewah, serta keseharian dia menggunakan mobil sport serta fasilitas lux lain, kemudian dia mengenakan barang-barang mewah seperti jam tangan merk Rolex, sepatu adidas sport dan lain-lain, apakah itu disebut barang mewah?

Untuk orang yang seperti itu, tentunya barang-barang yang dipakainya bukanlah menjadi suatu kemewahan lagi, karena sudah setiap hari bahkan sejak kecil dia sudah memakai dan menikmatinya.

Lantas apakah orang yang seperti itu mesti kita larang karena bermewah-mewah, dan kita anggap berlebihan? Lalu kita informasikan lagi, bahwa setiap orang tidak boleh berlebihan, dan hanya boleh hidup dengan style sebagai orang miskin. Oh, alangkah naifnya pandangan seperti itu?

Menikmati kemewahan dari hasil kerja kita merupakan fitrah yang Allah ciptakan untuk manusia juga. Demikian firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam QS. Ali Imran ayat 14.

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاء وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”

Lalu, jika kemewahan itu boleh, lantas apa yang dilarang?

Kalau memang kemewahan itu ada yang dibolehkan, yang jadi pertanyaan adalah kapan kemewahan itu jadi haram? Sebab kita seringkali mendapatkan kisah teladan dimana para Salafus-Shalih di masa lalu cenderung meninggalkan kemewahan, dan hidup dengan bersahaja. Bahkan termasuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pun hidupnya amat bersahaja.

Hidup mewah itu menjadi haram karena:

Pertama, didapat dengan cara yang haram. Misalkan, kemewahan hidup dari hasil merampok uang rakyat, menipu berkedok travel Umrah-Haji, menjadi rentenir dengan memakan uang riba. Itulah di antara cara-cara memperoleh kemewahan yang diharamkan.

Kedua, memiliki kemewahan dengan niat kebanggaan diri dan kesombongan. Niat memiliki harta banyak dan kemewahan untuk berbangga-bangga dan kesombongan adalah niat yang sangat dimurkai Allah subhanahu wa ta’ala.

Ingatlah, Nabi Sulaiman ‘alaihissalam yang kaya raya itu pun sangat tawadhu’. Beliau mengatakan bahwa semua yang dimilikinya itu adalah anugrah Allah subhanahu wa ta’ala, dan ini bisa menjadi ujian bagi dirinya, apakah dirinya bersyukur atau kufur.

هَذَا مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ

“Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari’,” (QS. An-Naml: 40).

Lebih haram lagi jika orang tidak mampu tapi berusaha untuk hidup mewah dengan cara yang menipu sehingga merugikan, bukan saja diri sendiri tapi juga masyarakat luas yang ditipunya.

Ketiga, hidup dalam kemewahan tetapi tidak bersedekah dan menunaikan zakat. Orang yang punya kemewahan namun tidak bersedekah, maka orang ini mendapat kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala.

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,” (QS. At-Taubah: 34).

Rasulullah SAW memperingati orang yang tidak peduli dengan sesame dalam hadits berikut:

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائْعٌ إِلٰى جَنْبِهِ

“Tidaklah mukmin orang yang kenyang sementara tetangganya lapar sampai ke lambungnya,” (HR. Hakim).

Keempat, hidupnya hanya untuk kemewahan belaka. Orang seperti ini hidupnya hanya saling berlomba untuk mengejar kekayaan, pamer kemewahan, dan menumpuk kekayaan. Mereka mengejar kekayaan sampai tidak ingat kewajibanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Semua itu tentu terlarang dan sudah diingatkan Allah subhanahu wa ta’ala sejak awal.

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,” (QS. At-Takatsur: 1).

Hidup Sederhana Dianjurkan Nabi Saw.

Figur utama kita adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dalam hidupnya sangat bersahaja dan sederhana. Beliau meninggalkan kemewahan hidup dan jika beliau tidak memiliki makanan, maka seringkali beliau mengganjal perutnya dengan batu.

Sifat sederhana Rasulullah inipun di ikuti oleh para khalifah setelah beliau wafat. Kesederhanaan membuat mereka tidak perlu dijaga dengan berlapis-lapis tantara. Adalah Sayidina Umar bin Khaththab yang tidur hanya ditemani para fakir miskin, dan membuat tentara emperium Romawi terkesima dan kaget. Dialah Umar yang membuat gemetar Kaisar Hercules karena tidurnya tidak perlu dijaga.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menganjurkan untuk hidup sederhana. Demikian pula yang senantiasa dianjurkan kepada putrinya, Fatimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian, semoga kita dijadikan Allah sebagai hamba-Nya yang pandai bersyukur, Aamiin.

Wallahu a’lam bish shawab.

 

Referensi

  1. Tafsir ibnu katsir, Imam Ibnu Katsir
  2. Risalatul Muawanah, Al-habib Abdullah bin Alwi Alhaddad
  3. Tarik Tasyri Islam, Syech Muhammad Khudhari Bek

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here