Kapan Seorang Anak Tak Lagi Disebut Yatim?

4577
Ilustrasi anak-anak

Oleh: Drs H. Tb Syamsuri Halim, M.Ag (Pimpinan Majelis Dzikir Tb. Ibnu Halim dan Dosen Fakultas Muamalat STAI Azziyadah Klender)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintai anak-anak yatim, sehingga seseorang yang mengasuh anak yatim dijanjikan kedudukan sangat mulia di samping beliau ketika di surga nanti.

Namun masyarakat banyak yang belum memahami, siapakah anak yang menyandang predikat ‘yatim’ tersebut? Lalu, sampai kapan seorang anak tak lagi disebut yatim?

Yatim Menurut Ulama Salafus Shalih

Mengenai predikat ‘yatim’ bagi seseorang, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama salafus shalih.

Pertama, menurut Qoul Adzhar definisi yatim adalah anak yang ditinggal mati ayahnya sebelum usia baligh. Pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama tanpa khilaf atau tanpa perbedaan pendapat.

Kedua, menurut Qoul Muqobilul Adzhar, yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh salah satu orangtuanya, baik ayah maupun ibunya.

Demikian menurut Al-Imam Abu Abdillah Az-Zarkasyi dalam kitabnya Al-Mantsuur Fi Al-Qawaaid III / 368. Dan menurut Imam Ibnu Abi Hurairah, pendapat ini boleh diikuti dan diamalkan.

Sementara pengertian ‘yatim-piatu’ adalah seseorang yang tidak lagi memiliki ayah dan ibu. ‘Yatim’ merupakan sebuah kata dari Bahasa Arab, artinya seseorang yang tidak memiliki ayah. Sedangkan piatu adalah seseorang yang tidak memiliki ibu.

Baca juga: Meninggalkan Shalat Jumat, Haruskah Membayar Denda?

Batasan Yatim-Piatu

Mengutip pendapat Imam as-Syairazi as-Syafi’i (w 476 H), bahwa “Yatim adalah seorang yang tidak memiliki ayah sedang dia belum baligh. Setelah baligh maka orang itu tidak disebut yatim,” (Abu Ishaq as-Syairazi w 476 H, al-Muhaddzab, h 3/ 301).

Sabda Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ وَلاَ صُمَاتَ يَوْمٍ إِلَى اللَّيْلِ

“Tidak ada keyatiman setelah mimpi basah dan tidak ada diam (tidak berbicara dengan menganggapnya sebagai ibadah) seharian sampai malam.”

Begitu pula untuk yatîmah (anak yatim perempuan), maka dia tidak dinamakan yatim lagi setelah dia haidh.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لا يُتْمَ بَعْدَ احْتِلامٍ، وَلا يُتْمَ عَلَى جَارِيَةٍ إِذَا هِيَ حَاضَتْ

“Tidak ada keyatiman setelah mimpi basah dan tidak ada keyatiman bagi anak perempuan apabila dia sudah haidh.”

Pengertian ini adalah untuk batasan keyatiman. Lebih dari itu tidak bisa di sebut yatim oleh karenanya bagi yang ingin memberikan santunan, lebih indahnya diberikan pada saat sebelum masa dewasa, baik untuk laki-laki maupun prempuan.

Baca juga: Shalat Qadha dalam Perspektif Hukum Islam

Cara Mengasuh Anak Yatim

Sedangkan untuk memelihara harta anak yatim maka hendaknya perlu dilatih dan diuji kemampuan yatim tersebut dalam mengelola keuangannya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa ayat 6:

وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا ۚ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).”

Ayat di atas bisa dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, Allah SWT telah memerintahkan kepada kaum Muslimin (yang menangani harta anak yatim) untuk menguji anak-anak yatim (yang mereka asuh) jika mereka telah sampai pada umur yang cerdas (dalam urusan mengelola harta) atau ketika mereka sudah mencapai usia baligh, dengan cara memberikan sebagian harta kepada mereka kemudian mereka disuruh untuk melakukan aktifitas jual beli.

Apabila terlihat pada mereka kemampuan yang baik dalam mengelola harta maka wali atau orang tua asuh yang menangani harta mereka boleh menyerahkan harta tersebut kepada mereka

Dan saat menyerahkan harta tersebut kepada mereka, hendaknya mengangkat beberapa orang saksi (dalam serah terima ini), sehingga (tidak ada celah bagi mereka) disuatu saat  untuk berkata: “Engkau belum menyerahkan hartaku kepadaku.!!” Dan cukuplah Allah SWT yang menjadi saksinya.

Baca juga: Bila Terjebak Macet, Bolehkah Tidak Shalat Jumat?

Kedua, Allah SWT melarang wali anak yatim untuk memakan harta-harta anak yatim lebih dari batas kewajaran dan tergesa-gesa. Allah SWT  ingin agar para wali dan orang-orang yang diwasiatkan untuk menjaga anak yatim tidak memakan harta-harta mereka dengan melampaui batas kewajaran dari apa yang dibutuhkan olehnya atau bersegera dalam memberikan harta tersebut kepada anak yatim yang masih tidak memiliki kemampuan memadai dalam menggunakan harta.

Ketiga, Allah memberikan petunjuk terbaik kepada para wali yatim dalam penggunakan harta anak yatim tersebut. Yaitu, para wali yang kaya (mampu), maka (sebaiknya) dia menahan diri dari mengambil harta anak yatim dan tidak memakannya sedikit pun.

Para wali yang miskin, maka dia hendaknya makan sewajarnya, yaitu dengan cara meminjam sebagian harta anak yatim tersebut, kemudian mengembalikannya lagi ketika sudah memiliki kemampuan atau kelonggaran ekonomi.

Apabila wali tersebut adalah orang miskin, maka dia boleh mengambil uang jasa atas jerih payahnya mengurus anak yatim tersebut secara wajar.

Kesimpulannya, ada 2 penjelasan tentang anak yatim:

1. Tidak dinamakan Anak Yatim bila sudah dewasa. Dewasa di sini dalam literatur ulama imam-imam madzhab, adalah tahapan terbebani segala perintah dan Larangan Allah, serta mereka sudah mampu untuk berfikir ke arah yang positif dan menghindari dr pola-pola pikir yang negatif, dengan istilah ‘Aqil Baligh.

2. Untuk anak yatim yang memiliki peninggalan orangtuanya berupa kekayaan dan juga deposito yang banyak, hendaknya walinya atau orangtua asuh, tidak boleh lepas begitu saja tapi perlu latihan dalam hal mengelolah keuangan. Bila perlu dibuat semacam perencanaan dengan pola-pola bertahap agar yatim ini bisa mandiri.

Wallahu a’lam bish shawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here