Jumatan, Turbah, dan Syiah (My Trip in Baku – 9)

2631
Masjid Ajder Bey (Foto: Fath/ Muslim Obsession)

Baku, Muslim Obsession – Dua hari ini cuaca di Baku berlarian semaunya sendiri. Sesaat angin menusuk sangat dingin, sesaat kemudian panas menyengat hingga 27° celsius. Malamnya, sesekali hujan membuat selimut dipaksa menjadi teman.

Seperti hari ini, panas cukup terik meski tak seterik Indonesia yang tropis. Sorot matahari masih diimbangi dengan semilir angin yang membuat kulit jadi kering. Dalam bahasa Cirebon, kulit jadi ‘kosek’, seperti blackboard yang bisa ditulisi kapur putih.

Saya bersama Duta Besar Indonesia untuk Azerbaijan, Husnan Bey Fannanie, berjalan santai menuju Masjid Ajder Bey. Di dalamnya telah sesak orang-orang menunggu adzan Shalat Jumat dikumandangkan.

Mereka lebih banyak memilih ruangan dalam masjid dibanding ruangan antara yang terbuka menghadap langit. Panas kali ini lebih dari hangat, meski tak menyengat.

Kami duduk membelakangi tembok yang menjadi tempat berkumpulnya Turbah Al-Husainiyyah. Turbah adalah kepingan tanah berbentuk bulat yang digunakan muslim Syiah saat shalat. Bulatan dicetak rapi dengan tulisan ‘Ya Husain’ bergaya Diwani Jaly. Di beberapa tempat, At-Turbah ada juga yang berbentuk prisma.

Muslim Syiah satu persatu mengambil Turbah lalu shalat. Setelah itu, beberapa di antaranya keluar lagi dari masjid. Bagi mereka, shalat Jumat tak jadi sebuah kewajiban.

***

Adzan mengalun dengan pelan, melantunkan irama yang syahdu. Indah sekali.

Tak ada beda dengan di Indonesia. Tak ada tambahan kalimat “Asyhadu anna ‘Aliyan Waliyullah” setelah dibacakan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”. Sama, tak ada beda.

Tak lama adzan berhenti, khatib Jumat memulai tugasnya. Karena tak terjangkau pengeras suara, lamat-lamat saya dengar rukun khutbah dibacakan dalam bahasa Arab. Sama, tak ada beda.

Sisanya, khatib menggunakan bahasa Azeri. Dari beberapa hadits dan ayat Al-Quran yang disisipkannya, saya mengetahui materi khutbah seputar kejujuran, bahaya nifaq, dan ciri-cirinya.

Khatib rehat sejenak sebelum khutbah kedua. Sama, tak ada beda. Hanya di sini muadzin tadi membacakan doa “rabbanâ lâ tuzigh qulûbanâ ba’da idz hadaytanâ wahablanâ min ladunka rahmatan innaka antal wahhâb”. Ia membacakannya, lagi-lagi, dengan suara yang sangat indah.

Setelah itu, khatib pun kembali melakukan khutbah kedua. Di ujungnya, seluruh jamaah mengaminkan doa yang dipanjatkannya. Sama, tak ada beda.

***

Soal ‘jumatan’ ini, saya pun bertanya kepada kawan yang paham tradisi Syiah. Bastian Zulyeno, Ph.D namanya. Dosen sastra Arab Universitas Indonesia ini mengecap pendidikan di Teheran selama tujuh tahun. Kebayang, bagaimana ia berinteraksi dan mengenal betul masyarakat di pusat Syiah di dunia itu.

Satu-satunya doktor sastra Persia miliki Indonesia ini berada di Baku untuk menjadi narasumber seminar Multikultural Indonesia di Hyatt Regency, Baku. Ia tampil bersama pengasuh Pondok Modern Gontor KH. Hasan Abdullah Sahal yang juga datang dari Indonesia bersama dengannya atas undangan Dubes Indonesia.

“Bagi pengikut Syiah, shalat Jumat juga ada meski belum menjadi sebuah kewajiban,” katanya, saat saya tanya perihal ‘jumatan’ ini.

Jawaban Bastian ini sekaligus menjawab pertanyaan saya yang melihat banyaknya pengikut Syiah keluar setelah shalat di Masjid Ajder Bey, padahal khutbah belum dimulai.

“Tapi, bukan juga berarti tak ada shalat Jumat bagi pengikut Syiah. Di Teheran, bahkan pemerintah memobilisasi para pengikut Syiah yang ingin melaksanakannya. Sifatnya ‘wajib ikhtiyari’ yang boleh tidak dilakukan bagi mereka yang memiliki kesibukan,” jelasnya.

Pria kelahiran tahun 1981 ini menambahkan, masjid untuk pelaksanaan shalat Jumat di Iran telah ditentukan. Setiap kota, satu masjid. Oleh karenanya, ada banyak bis yang disiapkan untuk para jamaah Syiah yang akan menuju masjid tersebut.

‘Wajib ikhtiyar’ baru menjadi mutlak, tambah Bastian, setelah keadilan hadir di mana-mana dengan Imam Mahdi sebagai ikonnya. Sebelum itu terjadi, shalat Jumat masih menjadi ‘pilihan’ meski ia adalah kewajiban.

Bastian yang mengaku pernah ikut shalat Jumat bersama kalangan Syiah menerangkan bahwa tak ada beda dengan pelaksanaannya seperti di kalangan Sunni. Khutbah sebanyak dua kali dengan jeda sejenak. Pun dengan rukun khutbah yang sama.

“Pengalaman saya, khutbah Jumat di Teheran bersama pengikut Syiah ini lumayan lama,” katanya lagi.

Paparan ‘khirij’ Pondok Modern Gontor ini jelas menjadi tambahan wawasan untuk saya. Azerbaijan seperti Iran yang mayoritas masyarakatnya adalah pengikut Syiah. Hanya bedanya, masyarakat Azerbaijan sangat ‘cuek’ pada perilaku keagamaan mereka.

Pola pikir yang dibenamkan Rusia dan Soviet selama hampir 170 tahun era penjajahan masih sangat membekas. Agama dibiarkan hidup sendiri!

Baku, 1 Juni 2018

 

Baca Juga:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here