Jujur Intisari Kemuliaan

1700

Jujur versus Nifaq

Dalam kajian Islam, jujur berbanding terbalik dengan nifaq. Secara bahasa, nifaq berarti pura-pura pada agamanya. Atau bermakna lubang tikus di padang pasir yang sulit ditebak tembusannya. Secara istilah, nifaq berarti sikap yang tidak menentu, tidak sesuai antara ucapan dan perbuatannya. Adapun orang yang mempunyai sifat nifaq disebut munafiq (munafik).

Seorang munafik bersikap tidak menentu, sulit diketahui kebenaran ucapannya, sebagaimana sulitnya mengetahui tembusan lubang tikus di padang pasir. Oleh sebab itu orang lain sering tertipu dengan ucapan atau perbuatannya yang tidak menentu.

Islam memandang sangat rendah terhadap seorang munafik karena jelas-jelas dia tidak berbuat jujur dan tidak menampakkan dirinya sebagai seorang yang bertauhid. Seorang munafik tidak lagi merasa diawasi Allah ‘Azza wa Jalla, sehingga ia dengan leluasa dan terbiasa menipu dirinya sendiri dan orang lain.

Sebaliknya, Islam memandang tinggi terhadap seseorang yang jujur. Dalam hal ini Rasulullah Saw. bersabda: “Dari Abdulloh bin Mas’ud, dari Nabi Muhammad Saw. bersabda, ‘Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan (keta’atan) dan kebaikan itu membawa ke surga. Dan seseorang membiasakan dirinya berkata jujur sehingga ia dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Sementara dusta membawa kepada kemaksiatan, sedangkan kemaksiatan membawa ke neraka. Dan seseorang suka berdusta hingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta,” (HR. Bukhori no. 5629 dan Muslim no. 4719).

Sebagai hamba yang ingin selalu meningkatkan kualitas takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, sudah sepatutnya kita introspeksi diri, apakah kita termasuk golongan yang jujur atau munafik. Kita dapat berkaca pada sebuah hadits, di mana Rasulullah Saw. memberikan ciri-ciri seorang munafik sebagai berikut:

“Empat hal bila ada pada seseorang maka dia adalah seorang munafik tulen. Dan barangsiapa yang terdapat pada dirinya satu sifat dari empat hal tersebut maka pada dirinya terdapat sifat nifaq hingga dia meninggalkannya. Yaitu, jika diberi amanat dia khianat, jika berbicara dia dusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika berseteru dia berbuat kefajiran,” (HR. Al-Bukhari no. 89 dan Muslim no. 58).

Pada hadits yang lain, Rasulullah Saw. bersabda: “Tanda-tanda orang munafik ada tiga perkara, yaitu apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji dia mungkiri dan apabila diberi amanah dia mengkhianati,” (HR. Bukhari, Kitab-Iman: 32).

Selain dapat disaksikan orang lain, kejujuran juga merupakan bahasa hati, di mana kita sendirilah yang dapat menilai kejujuran yang kita miliki. Lantas, kembali pada pertanyaan semula, sudah seberapa besarkah kejujuran yang kita miliki? Masihkah kejujuran itu milik kita? Atau malah kita sudah terjerumus pada lubang nifaq? Hanya Allah sajalah yang tahu dan kita sendirilah yang memahaminya.

Wallahu A’lam bish Shawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here