Isra Mi’raj untuk Keindahan

1053

Oleh: Buya Yahya (Pengasuh Lembaga Pengembangan Dakwah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah)

Di antara saat teramat indah yang dilalui oleh Rasulullah SAW adalah saat Isra Mi’raj, saat Rasulullah SAW berdialog khusus dengan Allah SWT. Sebuah kejadian yang tidak bisa disifati oleh siapa pun kecuali oleh Allah SWT.

Rasulullah SAW melihat Allah SWT, Dzat yang tidak menyerupai apa dan siapapun. Sehingga cara melihatnya pun bukan urusan akal untuk memikirkanya, akan tetapi itu urusan hati untuk mengimaninya. Yang jelas hal itu pernah terjadi pada Rasulullah SAW dan yang pasti Rasulullah SAW melihat dengan mata hatinya.

Dimulai dari kebingungan Rasulullah SAW untuk bersalam kepada Allah SWT, hingga Allah SWT mewahyukan salam yang tepat dari hamba untuk-Nya yaitu “Attahiyyatul mubarokatush sholawaatuth thoyyibaatu lillah” (salam sejahtera yang penuh barokah dan salam sejahtera yang amat baik adalah milik Allah SWT). Saat itu pun Allah menjawab “Assalamu alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarokatuh” (Salam sejahtera, barokah dan rahmat Allah dilimpahkan kepadamu wahai Nabi Muhammad SAW). Kemudian salam itu diabadikan dalam perintah shalat yang dibawa oleh Rasulullah SAW dari perjalanan Isra Mi’raj.

Pesan yang bisa dibaca dari bacaan tasyahud ini adalah seorang hamba yang melakukan shalat sebenarnya adalah melakukan perjalanan menuju Allah SWT dengan berbekal diri dengan 3 bentuk kebaikan. Yang pertama: adalah hubungan baik dengan Allah SWT. Kedua: hubungan baik dengan Rasulullah SAW. Ketiga: hubungan baik dengan sesama manusia.

Seorang hamba yang benar-benar menghadap kepada Allah SWT dan berusaha menjalin hubungan baik kepada Allah SWT ternyata tidak cukup, akan tetapi ia harus menjalin hubungan baik kepada Rasulullah SAW.

Digambarkan dalam tasyahud tersebut seorang hamba yang menghadap kepada Allah SWT di dalam shalat ia harus mengucapkan salam kepada Rasulillah SAW untuk keabsahan sebuah penghambaan dan penghadapan.

Shalat yang merupakan ibadah yang digambarkan sebagai penghadapan khusus seorang hamba kepada Allah SWT akan tetapi justru disaat lagi khusuk-khusuknya kepada Allah SWT, seorang hamba harus mengingat makhluk agung Rasulullah SAW di dalam shalatnya. “Ya Rasulullah SAW alangkah agungnya dirimu disaat kami menghadap Penciptamu ternyata penghadapan kami pun tidak dianggap benar jika kami tidak mengingatmu”. Ternyata tidak cukup hanya mengingat akan tetapi harus mengucapkan salam dengan salam yang seolah-olah berdialog langsung dengan Rasulullah SAW.

Artinya sebanyak apapun seseorang beribadah kepada Allah SWT dengan sujud puasa dan haji yang tidak terhitung ternyata tidak ada maknanya jika tidak diiringi makna kecintaan kepada Rasulullah SAW dan banyak membaca shalawat untuknya.

Pesan selanjutnya, yang sudah baik kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW saja ternyata belum dianggap benar seperti yang digambarkan dalam bacaan tasyahud. Yaitu jika seorang hamba dalam shalatnya berhenti pada salam kepada Rasulullah SAW dan tidak melanjutkannya maka penghadapannya kepada Allah SWT ini pun tidak dianggap sah.

Maka demi kesempurnaan shalatnya seorang hamba harus mengucapkan “Assalamu alaina wa’ala ’ibadillahish sholihin” (Kesejahteraan semoga terlimpah kepada kami semua hamba Allah SWT dan hamba-hambaNya yang sholih).

Maknanya ini adalah sebuah upaya menciptakan keindahan kepada sesama yang diikrarkan oleh seorang hamba disaat seorang hamba lagi khusuk menghadap kepada Allah SWT. Hal itu menunjukkan begitu besarnya kewajiban kita kepada sesama manusia.

Sehingga belum dianggap baik seorang hamba yang banyak shalat, puasa dan membaca sholawat kepada Rasulullah SAW jika belum bisa menjalin hubungan baik kepada orang tua, saudara, tetangga dan masyarakatnya.

Kemudian disaat kita hendak keluar dari shalatpun kita harus mengucapkan kalimat “Assalamualaikum” dan bukan dzikir-dzikir yang lainya, seperti Laailaaha illallah dan Subhanallah. Itu artinya kita diingatkan kembali bahwa setelah kita shalat kita akan berhadapan dengan sesama kita. Sudahkah kita siap untuk menjalin keindahan dengan sesama tanpa dusta, gunjingan, aniaya dan perbuatan yang merugikan orang lain?

Itulah pendidikan keindahan yang bisa dipetik dari makna shalat dan kisah Isro Mi’raj, yaitu pendidikan keindahan yang sesungguhnya indah kepada Allah SWT, Rasulullah SAW dan sesama manusia. Sungguh benar orang yang telah shalat dengan benar akan terhindar dari kekejian dan kemungkaran. Wallahu a’lam Bish-Showab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here