Isra’ dan Mi’raj: Pahami dengan Logika Nahwu, Bukan Semata dengan Logika Sains

378

Oleh: Syukron Ma’mun, M.Pd.I (Pengurus MUI Kota Bogor)

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad ﷺ yang terjadi sekitar 14 Abad silam, tetap masih menjadi perhatian kaum muslimin bahkan umat lain diluar umat Nabi Muhammad ﷺ, tidak terkecuali para ilmuwan.

Dalam dimensi keimanan peristiwa itu tidak butuh lagi penelitian dan pertanyaan karena bersumber dari wahyu, dan setiap yang bersumber dari wahyu, sebagai orang beriman kita harus bersikap sam’an watho’atan (kami dengar dan kami taati).

Sam’an wa thoatan-nya orang beriman kepada wahyu, bukan berarti hal itu tidak ilmiyah, karena dalam epistemologi Islam, teori ilmu itu bukan semata-mata bersumber dari dua hal, yakni panca indra dan rasio (akal), tetapi ada sumber lain yaitu khobar sodiq (berita yang benar dan otoritatip) yakni wahyu dan hadits Nabi ﷺ.

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj juga tidak sedikit mengundang banyak ilmuwan dan saintis yang menganalisis peristiwa tersebut dalam persepektif sains. Seorang profesor sain, Prof. Dr. Fahmi Amhar menulis sebuah artikel dengan tema;”Dimensi sains Isra’ dan Mi’raj”. Beliau mengemukakan dalam tulisannya.

BACA JUGA: Men-Dhomirkan Al-Quran

Isra’ dan Mi’raj sebagai sebuah perjalanan ajaib dimalam hari dari masjidil haram ke masjidil aqsha memiliki dimensi sains. Dimensi sains karena perjalanan Isra’ saja yang menempuh jarak kurang lebih 1250 Km pada masa itu sudah sesuatu yang mustahil ditempuh dalam semalam. Memang saat ini, dengan pesawat supersonik, perjalanan itu dapat ditempuh 15 menit saja. Namun peristiwa mi’raj ke langit tentu tetap misterius.

Andaikata perjalanan pergi-pulang ke langit itu ditempuh dari ba’da Isya (sekitar pukul 20) sampai menjelang Shubuh (sekitar pukul 04), maka jarak bumi-langit adalah 4 jam.

Bila Nabi beserta malaikat jibril bergerak dengan kecepatan cahaya, maka jarak yang ditempuh baru sekitar 4.320.000.000 Km, atau baru di sekitar Planet Neptunus. Belum keluar tata surya. Bintang terdekat Proxima Alpha Centaury ada pada jarak sekitar 4,2 tahun cahaya. Tidak mungkin dikunjungi pergi-pulang dalam semalam.

BACA JUGA: Merdeka dalam Persepektif 3 Nabi

Apalagi ada kendala Teori Relativitas Khusus.

Menurut Einstein, materi yang bergerak mendekati kecepatan cahaya, maka akan mengalami kontraksi ukuran sampai mendekati nol, dan pada saat yang sama massanya mendekati tak terhingga. Apakah Nabi mengalami hal itu? (Prof. Pahami amhar, artikel Dimensi sains Isra’ Mi’raj)

Ada juga yang mencoba memahami dengan ayat 70 Surat Al-Maarij, “Malaikat-malaikat dan Jibril naik kepada Rabb dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun”, sebagai jarak ke langit adalah 50.000 tahun cahaya. Malaikat mampu melesat dengan laju jauh di atas cahaya (Faster Than Light, FTL-Travelling).

Namun astrofisika memastikan bahwa sehari malaikat ini belum keluar dari galaksi Bimasakti. Galaksi tetangga Andromeda saja berjarak 2,5 juta tahun cahaya. Dan itu juga belum langit. Di manakah langit sebenarnya? Batas jagad raya teramati ada pada 14 Milyar tahun cahaya!

BACA JUGA: Rahasia Puasa di Balik Kewajiban Kutiba (كتب)

Bagaimana dengan jarak langit ketujuh atau sidrotul muntaha dengan bumi tempat Nabi Muhammad ﷺ tinggal?, berapa milyar tahun cahaya lagi yang dibutuhkan? Padahal Nabi ﷺ berdasarkan perkiraan yang disebutkan diatas hanya memakan waktu +-8 jam pergi-pulang dari bumi ke Sidratul Muntaha sampai ke bumi lagi.

Sampai selesainya artikel itu saya baca, belum ada jawaban sains terkait dengan peristiwa yang menakjubkan itu.

Sebagaimana yang beliau (Prof. Fahmi Amhar) katakan, bahwa hal ini PR dan tantangan bagi para saintis muslim untuk menjawabnya.

Oleh karena itu, tidak heran ketika peristiwa itu terjadi, tidak sedikit orang kafir yang sudah masuk Islam berbalik murtad, bahkan peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi ﷺ ini jadi peluang bagi Abu Jahal cs untuk mempengaruhi umat Islam agar meninggalkan Nabinya dan agama barunya (Islam).

BACA JUGA: Apa dan Siapa Salaf?

Keluar dari dimensi atau logika sains, ada dimensi dan logika lain untuk memahami peristiwa agung itu, yaitu dimensi atau logika nahwu dan shorof (gramatika bahasa Arab).

Dari sudut logika nahwu, Isro’ dalam segi bahasa adalah lafadz dengan bentuk sighot mashdar dari fiil madhi asroo (أسرى) kategori bab Tsulasti mazid ruba’i yang berasal dari tsulasti mujarod saroo (سرى) – yasri (يسري) – siroyatan (سراية) yang artinya berjalan di malam hari.

Sedang kan lafadz أسري dalam kitab alamsilatu tasrifiyah karya syaikh Muhammad ma’sum bin Ali adalah kalimat fi’il tsulatsi mazid dengan imbuhan satu huruf, yaitu huruf hamzah ( أ ) di awalnya, sebagai huruf hamzah tambahan ( أ ) pada wazan Af’ala (أَفْعَلَ) memiliki fungsi ta’diyah. Karena dengan tambahan hamzah ta’diyah itu, semua fi’il yang mengikuti wazan ini menjadi muta’addi (transitif) yang membutuhkan kepada maf’ul bih (objek penderita).

Cara mengartikannya dengan memberikan awalan “me” dan akhiran “an” jadi yang telah memperjalankan, dhomir (kata gantinya) disimpan ,yakni kata ganti dia (Allah).

BACA JUGA: Jadilah Mujaddid, Jangan Jadi Mujaddil

Jika diterjemahkan secara gramatika bahasa Arab ayat pertama surat al-isra itu adalah “Mahasa suci Allah yang telah memperjalankan (Allah) kepada Hambanya (Muhammad) pada waktu malam hari dari masjidil Haram ke Masjidil aqsha…”.

Jadi Rasulullah ﷺ dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu tidak berjalan sendiri, akan tetapi ada yang memperjalankan, yakni Allah SWT. Seekor semut butuh waktu lama ketika dia berjalan sendiri dari jarak seratus meter ,dan akan membutuh kan waktu singkat ketika dibawa atau diperjalanan oleh seorang pelari tercepat atau dinaikan ke kendaraan. Begitupun dengan seekor bekicot yang lambat, bisa dengan cepat sampai tujuan, jika ada yang menjalankannya.

Inilah peristiwa agung dan spektakuler yang sampai saat ini masih jadi misteri para saintis itu, perjalanan agung yang merupakan bagian dari mu’jizat Nabi Muhammad ﷺ.

Hikmah dan pelajaran dari peristiwa ini bagi kita saat ini adalah:

Pertama, Sehebat dan setinggi apapun ilmu manusia, tidak ada apa-apanya dibandingkan ilmu Allah SWT. Wamaa uutitum minal ‘ilmi illa qoliilan.

BACA JUGA: Makna Hijrah dalam Filosofi “Marfu’atul Asmai”

Kedua, Dalam kehidupan dunia ini ada sesuatu yang masuk akal, ada yang tidak terjangkau akal. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu bukan peristiwa yang tidak masuk akal, akan tetapi peristiwa yang tidak atau belum terjangkau akal.

Ketiga, jika sudah ada campur tangan Allah, tidak ada sesuatu yang mustahil, tidak ada sesuatu yang tidak mungkin. Banyak peristiwa yang terjadi pada diri para nabi, para sahabat nabi, bahkan orang-orang yang shalih dan beriman, yang tidak mungkin dan mustahil menurut akal, akan tetapi hal itu terjadi, jika Allah sudah berkehendak.

Ingat peristiwa burung ababil yang menghancurkan pasukan begajah yang peristiwa ini Allah abadikan menjadi sebuah surat dalam Al-Quran yaitu surat al-fiil. Bukan burung yang bekerja dalam penghancuran pasukan bergajah itu, tapi dalam ayat itu diawali dengan kalimat فعل ربك (pekerjaan Tuhanmu) “Tidakah kamu perhatikan bagaimana pekerjaan tuhanmu kepada pasukan bergajah?”.

Disinilah pentingnya mengundang Allah agar Dia selalu intervensi dalam aktifitas hidup kita, jika Allah sudah intervensi maka tidak ada lagi yang berat, yang sulit, bahkan yang mustahil dan tidak mungkinpun akan menjadi mungkin.

Demikian semoga bermanfaat, kebenaran hanya milik Allah SWT.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here