Ini Kisah di Italia dan Bisa Terjadi di Indonesia

1372

Oleh: Rieska Wulandari (Jurnal Hari ke-16 (hari kedua zona protetta)

Baru dua Minggu lalu ada tag #milanononsiferma artinya Milan tidak berhenti dan sayangnya tag yang harusnya dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas meski melakukan kerja dari rumah itu malah disalahartikan oleh kaum ignorant yang tidak mengindahkan seruan pemerintah pusat untuk mengurangi kegiatan non primer dan selektif, mereka (antara lain) adalah para anak muda yang merasa pongah tidak akan terinfeksi toh kalaupun terinfeksi mereka tak akan mati, sehingga di malam hari mereka malah kumpul minum minum bersama teman-temannya, berjalan jalan dan nongkrong-nongkrong.

Bahkan malah main ski di pegunungan padahal mereka dari zona episentrum! Kok ketahuan? Satu dari Vo’ kedapatan main ski karena patah kakinya dan terpaksa memanggil ambulans, saat diperiksa kartu identitasnya dari Vo’ langsung diperiksa, ternyata dia tidak datang sendirian, dan ada pasien yang positif covid-19. Satu lagi ketauan dari zona episentrum Codogno, karena orang itu pergi ke luar kota dan ambil uang di bank, pada petugas ia memperlihatkan KTP nya. Begitu petugas melihat alamatnya, langsung panggil petugas sekuriti. Orangnya dikembalikan ke kotanya, tapi kena denda dianggap tidak respek pada pemerintah dan kepada lingkungan sekitar.

Walhasil akibat pelancong dari Vo’ kawasan pegunungan di Italia yang tadinya bersih jadi kena noktah, tak hanya itu pengunjung yang turut bermain ski dan satu bis dengan mereka, saat kembali ke kampung di Italia selatan jadi positif juga.

Dua pekan masa semi karantina, grafik terinfeksi, parah dan meninggal tambah naik bahkan sehari sampai ribuan pasien. Rumah sakit di Lombardia (setidaknya ada 18 rumah sakit) kewalahan. Di Lombardia saja ada 4000 Pasien dan setengahnya harus melakukan self karantina karena rumah sakit tidak muat lagi dan mereka adalah pasien yang positif covid-19 tapi tidak memiliki simptom. Kok ketauan? Italia memiliki sistem kesehatan yang canggih dan serba masuk akal, semua yang memiliki relasi dengan pasien covid-19 kena cek laboratorium.

Empat ratus pasien diantaranya dalam kondisi kritis, ICU sudah tak muat lagi, hingga koridor disulap jadi ICU. Beberapa rumah sakit dengan berat hati mulai capcipcup kembang kuncup, pilih pasien yang masih mungkin diselamatkan, yang sudah terminal, mohon pengertian keluarga “direlakan saja”. Ini adalah sikap terberat yang pernah dilakukan dokter dan tim medis Italia. Banyak dari mereka punya jiwa jiwa amanah yang rajin berbakti menjadi sukarelawan di zona perang, zona wabah dan zona bencana misalnya di Afrika atau di Asia. Sekarang, rumah sakit di negara mereka sendiri sudah menjadi seperti rumah sakit di zona perang. Untunglah dedikasi dan ketulusan hati mereka tidak pernah tergadaikan. Semua orang Italia respek terhadap tim kesehatan yang mereka cintai.

Karena angka terus membengkak maka Lombardia di lock down (episentrum pertama menjadi zona merah dan sisanya zona oranye, artinya tidak boleh keluar masuk ke zona lain). Draft yang belum ditandatangani memang beredar semalam sebelum penentuan sebagai upaya mengedukasi agar warga tidak keluar dan mempersiapkan logistik yang diperlukan.

Dan tebak siapa yang melarikan diri dari aturan ini? Sekali lagi: para anak muda yang manja dan ignorant, bukannya mengindahkan dan berkontribusi dengan diam di rumah. Malah berbondong bondong eksodus seperti anak ayam kehilangan induknya, stasiun Centrale malam itu hectic seperti sedang perang. Anak anak muda merengek rengek minta pintu kereta dibukakan dan petugas menolak karena kereta sudah penuh.

Mau kemana mereka? Mau pulang ke rumah orangtuanya, ke kampung mereka di seantero Italia. Apa yang terjadi? Otoritas kesehatan Italia menemukan pasien-pasien terkonfirmasi Covid-19 diantara para penumpang kereta. Walhasil, noktah merah tersebar di seluruh zona Italia.

Padahal seandainya mereka di Lombardia, Anak anak ini juga akan dilindungi negara, rumah sakit gratis dan mereka karena muda, cukup melakukan self karantina dan akan sembuh sendiri, tanpa harus menjadi biang masalah bagi orang lain.

Memang apa salahnya pulang kampung, itu kan rumah mereka?

Betul itu rumah mereka. Tapi ini masalahnya: di kampung, mereka punya nenek dan orang tua serta keponakan yang rentan terinfeksi. Apalagi jika pasien tak menampakkan simptom tapi sebetulnya positif terinfeksi. Dan ini berbahaya bagi negara yang populasinya sekitar 60 jutaan saja, beda dengan Cina yang 1,3 miliar. Lagipula kaum sepuh di Italia terbanyak kedua di dunia setelah Jepang! Bisa-bisa populasi Italia turun drastis. Terkutuklah mereka yang membandingkan angka-angka jumlah pasien Italia dengan jumlah pasien Wuhan namun tidak melihat jumlah populasi antara Cina dan Italia. Sekarang pemerintah lokal di selatan kebingungan karena rumah sakit dan tim medis mereka tidak semaju di kawasan utara.

Teman saya dari Larino bahkan berkata, karena konflik politik lokal ada rumah sakit yang ditutup beberapa tahun lalu dan sekarang mereka tak punya rumah sakit sehingga harus keluar kota dan tebak siapa yang sakit ini? Para pasien baru yang terkena virus di zona resor ski. 😔

Itulah kenapa persentasi kematian akibat virus SARS COV-2 ini naik di Italia ketika dibandingkan dengan Cina, karena beda jumlah populasinya!

Akhirnya pemerintah Italia membuat aturan baru: mereka yang datang dari kawasan oranye di Utara harus mau self karantina selama dua Minggu, yang positif tanpa simptom jelas harus tahu diri, jangan kemana mana.

Tahukah Anda orang Italia tinggal di apartemen. Satu orang terinfeksi, satu apartemen dikarantina 48 jam dan di cek apakah ada yang demam. Kalau ada demam, ya cek laboratorium dan mungkin harus self karantina penuh.

Dokter dan tim medis Italia pun jungkir balik menyelamatkan pasien. Satu pasien usia 38 tahun asal Codogno yang merupakan pasien pertama di Italia (Ia bukan turis dari Cina),  kemari  sudah boleh keluar dari ruang ICU. Dia seorang muda, atletis, gandrung sepak bola dan latihan secara rutin. Ketika terkena infeksi (bagaimana dia terinfeksi akan saya telusuri di artikel selanjutnya) ternyata harus membuat dia masuk ruang ICU selama berhari hari dan bahkan setelah lepas ICU dia masih harus dirawat di rumah sakit. Oke penyakit ini tidak mematikan, tapi apa kabar kalau tidak ada alat alat penopang hidup dari ICU? Mohon pikir ulang lagi. Penyakit ini memang tidak mematikan tapi sudah pasti SANGAT MEREPOTKAN. Bukan hanya merepotkan Anda, tapi merepotkan semua orang.

Sekarang kampanye diubah supaya orang tak lagi salah paham atau pura pura tak paham dan mengambil keputusan gegabah dan ceroboh seperti dua Minggu lalu yaitu #fermaloinsieme artinya mari berhenti bersama.

Milan adalah pusat trendsetter dunia. Milan berhenti, Lombardia berhenti, Italia berhenti dan mungkin seluruh dunia sementara akan berhenti demi keselamatan populasinya masing-masing.

Mohon dipahami, itulah trendnya sekarang. Berhenti bukan berarti tidak produktif!

Salam sehat dan semangat dari Italia, mulailah hidup dengan tenggang rasa, melihat situasi dan respek terhadap yang lain. Wabah ini bisa berhenti di tangan Anda.

Andalah sang pembuat keputusan dan ini saatnya berkontribusi bagi sesama manusia.

 

BAGIKAN

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here