Oleh: Drs. H. Tb Syamsuri Halim, M.Ag (Pimpinan Majelis Dzikir Tb. Ibnu Halim dan Dosen Fakultas Muamalat STAI Azziyadah Klender)
Imam Ja’far Ash-Shadiq adalah ulama yang merupakan Ahlul Bait-nya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan pula guru Empat Imam Madzhab.
Suatu ketika sebuah rombongan tamu berkunjung ke kediaman Imam Jafar Ash-Shadiq. Bersama dengan rombongan tamu ini terdapat Imam Nu’man bin Tsabit atau kita mengenalnya dengan Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi.
Imam Ja’far mengetahui ada di dalam rombongan tamu seorang ulama yang brilian. Imam Ja’far juga mengetahui bahwa Imam Abu hanifah sangat kuat menggunakan pendekatan nalar dalam menakwil dalil-dalil, atau sekarang ini kita tahu dengan sebutan pendekatan istihsan.
Kemudian Imam Ja’far berkata kepada Imam Abu Hanifah:
“Hukum Allah itu hanyalah Allah yang Maha Tahu, maka janganlah mengedepankan akal semata. Bisakah Anda menjelaskan lebih berat mana dosa seorang pembunuh dengan pezina?”
Imam Abu Hanifah menjawab, “Lebih berat dosa pembunuh.”
Imam Ja’far Ash-Shadiq berkata, “Kalau lebih berat pembunuhan kenapa untuk pembunuhan, Allah berkenan menerima dua saksi, sedangkan kepada perzinahan, Allah tidak menerima kesaksian kurang dari empat orang?”
Imam Abu Hanifah terdiam.
“Sekarang lebih utama mana, ibadah shalat dengan puasa?”
Imam Abu Hanifah menjawab, “Lebih utama shalat.”
Imam Ja’far berkata lagi, “Tapi kenapa Allah tidak memerintahkan untuk mengganti shalat bagi perempuan yang haidl tapi Justru Allah menyuruh mengganti puasanya?”
Imam Abu Hanifah tak bisa menjawab lagi
Imam Ja’far berkata, “Sesungguhnya Allah melakukan apa saja sesuai apa-apa yang dikehendaki-Nya….”
Dialog di atas memberi contoh kongkrit bahwa logika seorang Muslim haruslah dibarengi dengan keimanannya dengan masalah yang dihadapi.
Di sinilah perbedaan logika orang yang beriman dengan orang yang tidak beriman, ketika berhadapan dengan suatu keadaan.
Di dalam Al-Quran, semua kitab-Nya, entah yang sifatnya perintah, larangan, anjuran, dan lain sebagainya, selalu mendahulukan kata “Aamanuu” (orang-orang yang beriman), baru kemudian lain-lainnya, termasuk berilmu atau nalar logika.
Fakta ini bisa menjadi tanda bagi kita bahwa keimanan haruslah mendahului rasionalitas. Dimana di dalam kehidupan ini ketika berhadapan dengan suatu kenyatan dan ketika nalar tidak mampu mengurai, maka bisa diselesaikan dengan keimanan.
Seperti Sayidina Abu Bakar Ash-Shidiq yang menyelesaikan segala perkara yang tak mampu nalar diurai dengan keimanannya. Yaitu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang perjalanan Isra’ Mi’raj dan semua orang tidak mempercayainya. Berbeda dengan Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, beliau langsung mempercayainya dengan pernyataannya yang terkenal: “Kalau sekiranya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan lebih dari itu, aku akan mempercayainya”.
Prof. DR. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Mishbah jilid pertama menuliskan bahwa:
“Allah lah yang Maha Ghaib dan tiada yang lebih ghaib dari segala keghaiban-Nya. Maka penerimaan terbaik tentang-Nya adalah IMAN Kita. Inilah sikap terbaik kita. Inilah sikap sang Mukmin. Justru sikap meragukan tentang-Nya, apalagi seseorang tidak mempercayai-Nya, akan membuat seseorang itu keluar dari barisan muttaqin.
Demikian kesimpulan dari tafsir Al-Misbah tentang QS. Al-Baqarah ayat 2-3:
ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ . ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ
“Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”
Namun demikian, janganlah disimpulkan bahwa ilmu dan nalar tidak berguna. Justru ilmu dan nalar itu adalah cahaya yang bisa memberikan pondasi kuat bagi keimanan kita.
Wallahu a’lam bish shawab.
Referensi
- Kitab An-Nawadir Karya Syaikh Syihabuddin Al-Qalyubi.
- Tafsir Al-Misbah Prof Dr Quraish Shihab
- Tarikh Tasyri Islam, Syech Muhammad Al-Khudhari Bek