IHW: UU Jaminan Produk Halal Perlu Kepastian Hukum

890

Sementara itu, Direktur LPPOM MUI, Dr. Lukmanul Hakim, M. Si., mengatakan bahwa pada  penerapan Undang-undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang akan diterapkan pada 17 Oktober 2019, perlu diperjelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksana, mengenai peran dan fungsi masing-masing pihak yang terlibat, terutama MUI dalam proses sertifikasi halal di Indonesia.

MUI, menurut Lukmanul Hakim, sejak dibahas pada rancangan UU pada 10 tahun silam, berperan pada substansi sertifikasi halal, karena halal merupakan hukum yang bersumber dari syariat Islam. Peran substantif tersebut antara lain: penetapan fatwa halal melalui komisi fatwa MUI. Selain itu, MUI berperan dalam sertifikasi auditor halal, karena auditor merupakan perwakilan para ulama.

“Tak hanya itu, MUI mempunyai peran penting dalam pengakuan lembaga sertifikasi halal luar negeri (LSHLN). Pengakuan ini semata-mata bukan hanya kerjasama antar kedua belah pihak, tapi lebih dari itu, standar yang digunakan oleh LSHLN harus sesuai dengan standar persyaratan sertifikasi halal MUI. Hal ini tidak terlepas dari peran LSHLN sebagai perwakilan di luar negeri untuk melindungi dan memberikan ketenteraman pada masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi produk-produk impor,” ujar Lukmanul Hakim.

Sedangkan peran pemerintah, lanjut Lukmanul Hakim, lebih pada administratif dan penguatan peran MUI. Saat ini, sertifikat halal menjadi keunggulan bersaing dalam industri bagi para pengusaha di Indonesia. Dari sektor inilah peran pemerintah menjadi penting dalam mengeluarkan dokumen negara yang dapat dipertanggung jawab dan pertanggung gugatkan dalam perdagangan internasional.

“Oleh karena itu, PP harus memberikan kepastian peran pada kedua institusi tersebut sesuai dengan amanat UU JPH yang telah disahkan 5 tahun silam,” tutup Lukmanul.

Hal senada disampaikan Ketua GAPMMI, Adhi S. Lukman. Adhi mengatakan bahwa ketidakpastian ini dapat menimbulkan keresahan di kalangan pengusaha mamin, terutama kerugian biaya yang ditimbulkan, salah satunya kemasan.

“Sebagai contoh kerugian dalam mencetak kemasan. Dengan adanya wacana penggantian logo halal, maka berapa kemasan yang harus dicetak kembali, bisa ribuan bahkan jutaan untuk pengusaha besar. Tidak terbayangkan  berapa nominal kerugian yang diderita pengusaha mamin,” ujar Adhi.

Padahal, lanjut Adhi, saat ini kami sudah nyaman dengan sertifikasi halal yang dilaksanakan oleh MUI. Sudah lebih dari 11.000 pengusaha mamin yang telah bersertifikat halal MUI. “Sertifikasi halal MUI sangat mudah karena bisa dilakukan secara online melalui Cerol-SS23000.

“Apalagi dengan Cerol-SS23000 versi 3.0 proses sertifikasi halal MUI menjadi semakin mudah, simple dan transparan,” tutup Adhi. (Vina)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here