Hukum Tradisi Mandi Padusan dalam Menyambut Ramadhan

945

Oleh: Dr.K.H. Abdul Halim Sholeh, M.A. (Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat)

Di antara bentuk persiapan menyambut Ramadhan, di kalangan masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur ada tradisi yang disebut “Padusan”. Biasanya 1-2 hari menjelang bulan puasa. Yaitu mandi bersama di mata air, sungai, telaga, dan lokasi-lokasi lain yang bisa digunakan untuk umum. Bercampur-baur lelaki dan perempuan. Sebagian ada yang menggunakan rempah-rempah alami atau herbal wewangian. Dimaksudkan untuk membersihkan diri secara jasmani maupun rohani. Sehingga saat memasuki Ramadhan dalam keadaan suci dan bersih.

Masyarakat Minang juga memiliki ritual “Balimau” yaitu tradisi mandi khusus sebelum bulan puasa. Menggunakan jeruk nipis atau limau untuk membersihkan diri. Sedangkan di Sumatera Utara ada Tradisi “Pangir” atau mandi daun wewangian. Juga dilakukan bersama bercampur-baur lelaki dan perempuan.

Karena dianggap sebagai tradisi, sehingga ada yang meyakini Padusan atau mandi massal yang semacam itu lainnya, sebagai sebuah kewajiban agama yang harus dilakukan sebelum memasuki bulan suci Ramadhan. Padahal tidak ada dalil syar’i dari Al-Quran, hadits Nabi Saw, dan contoh dari para shahabat maupun salafush-sholih.

Memang, ditinjau dari sisi mandi untuk membersihkan diri, tentu merupakan hal yang baik. Bahkan sebagai keharusan, kalau badan kotor. Apalagi bernajis. Terlebih lagi saat ini, dengan merebaknya virus Corona, yang dapat menyebabkan penyakit yang fatal. Salah satu terapi pencegahannya adalah dengan selalu menjaga kebersihan, menggunakan air yang bersih. Tentu harus dilakukan secara personal, di tempat yang tertutup, seperti kamar mandi, sehingga dapat menjaga aurat, tidak terlihat oleh orang lain.

Ikhtilath Terlarang dalam Islam

Namun kalau mandi dilakukan secara bersama-sama, bercampur-baur lelaki dan perempuan yang bukan mahram, di satu tempat, dalam tinjauan syara’ disebut “Ikhtilath”. Dan itu terlarang dalam Islam. Maka, sebagai tradisi yang hidup di tengah masyarakat, kalau salah tentu harus dikoreksi.  Haruslah dipahami, sebuah tradisi atau adat bisa diterapkan selama tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Sedang tradisi-tradisi yang menyalahi syariat atau tidak sesuai dengan akhlaqul karimah, tanpa diragukan lagi tentu harus dikoreksi dan harus pula didakwahi (sebagai bentuk Nahi Munkar).

Di dalam Al-Quran disebutkan ibroh dan Mau’izhoh (pelajaran) dari kisah Nabi Musa: “Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.” (QS. Al-Qashash, 26: 23).

Ketika nabi Musa sampai pada sebuah sumber mata air, dilihatnya banyak lelaki yang mengambil air untuk ternaknya. Tapi di belakang mereka ada dua orang wanita yang menahan ternaknya untuk minum di tempat tersebut. Sehingga nabi Musa pun bertanya tentang sikap mereka. Lalu mereka menerangkan bahwa mereka harus menunggu para lelaki selesai meminumkan ternak mereka. Karena biasanya ayahnya (dari kedua wanita itu) yang mengambilkan minum untuk ternaknya, sedangkan mereka tidak ingin bercampur baur dengan laki-laki. Maka para ulama menyebutkan bahwa ayat ini merupakan dalil terlarangnya ikhtilath (campur baur lelaki dan perempuan yang bukan mahram).

Maka nabi Musa pun menolong kedua wanita tersebut: “Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (QS. Al-Qashash, 28: 24).

Diinul Islam melarang mendekati zina dengan tegas. Maka segala hal yang mengarah dan mendekatkan kepada perbuatan terlarang itu pun diharamkan: “dan janganlah kamu mendekati zina, itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32).

Dalam menafsirkan ayat ini, Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan: “Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya dari perbuatan zina dan perbuatan yang mendekatkan kepada zina, yaitu ber-ikhtilath (bercampur-baur) dengan sebab-sebabnya dan segala hal yang mendorong kepada zina tersebut.” (Umdatut Tafsir: 2/428).

Dari sisi bahaya, tentunya ikhtilath memiliki bahaya yang besar, yaitu merusak hati seseorang sehingga terdorong untuk memikirkan tentang zina dan bahkan melakukannya. Padahal hati merupakan segumpal daging yang menjadi penentu baik atau buruknya perangai seseorang, Bahaya Ikhtilath ini dimulai dari pandangan mata yang kemudian bergerak masuk ke dalam hati. Dan Allah memerintahkan agar kita menjaga pandangan mata: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka, Sungguh, Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30).

Lebih lanjut lagi, Al-Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan: “Dan ketika pandangan merupakan pendorong untuk merusak hati, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian salaf: (Pandangan merupakan anak panah yang beracun bagi hati), oleh karena itu sebagaimana Allah memerintahkan untuk menjaga kemaluan, Allah pun memerintahkan untuk menjaga pandangan yang merupakan pendorongnya. (Umdatut Tafsir: 2/653), hal ini juga disebutkan oleh Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah dalam Majmuah Fatawa nya.” (Majmuatul fatawa: 8/230)

Tidak Halal

Larangan yang lebih tegas lagi dalam hadits Nabi saw dengan sabdanya: “Tidak halal (tidak boleh) seorang laki-laki melihat aurat lelaki lain, dan seorang perempuan tidak boleh pula melihat aurat perempuan lain. Seorang laki-laki tidak boleh bersatu (bercampur) dengan laki-laki lain dalam satu pakaian, dan seorang perempuan tidak boleh bercampur dengan perempuan lain dalam satu pakaian.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud & Tirmidzi).

Maka, Nabi saw selalu berupaya mencegah terjadinya ikhtilath dan saling memandang antara laki-laki dan wanita, bahkan termasuk di bagian bumi yang paling Allah cintai, yaitu masjid. Dengan cara memisahkan barisan antara laki-laki dan wanita. Kemudian agar jamaah laki-laki tetap berada di masjid hingga jamaah wanita keluar, lalu dibuatkan pintu khusus di bagian masjid untuk wanita. Dalam hadits disebutkan, diriwayatkan dari Ummu Salamah dia berkata, “Rasulullah saw, jika beliau salam (selesai shalat) maka kaum wanita segera bangkit saat beliau selesai salam, lalu beliau diam sebentar sebelum bangun.” Ibnu Syihab berkata, ‘Saya berpendapat bahwa diamnya Beliau saw adalah agar kaum wanita sudah habis keluar, sebelum disusul oleh jamaah laki-laki yang hendak keluar masjid.” (HR. Bukhari, no. 793).

Abu Dawud meriwayatkan dalam kitab Ash-Shalat dan diberi judul ‘Bab keluarnya wanita sebelum laki-laki setelah selesai shalat’: Diriwayatkan dari Ibnu Umar beliau berkata, Rasulullah saw bersabda, ‘Hendaknya kita khususkan pintu ini untuk wanita.’ Nafi berkata, ‘Maka Ibnu Umar tidak pernah masuk lewat pintu itu hingga wafat.” (HR. Abu Dawud, no. 484 dalam kitab ‘Ash-Shalah, bab Sikap keras dalam masalah ini).

Jika masalah seperti ini diberlakukan di masjid padahal ia adalah tempat ibadah yang suci, dimana laki-laki dan wanita umumnya menjauh dari perkara yang dapat membangkitkan syahwat birahi, maka memberlakukan ketetapan ini di tempat selainnya tentu tidak diragukan lagi menjadi hal yang lebih utama dan harus.

Dalam etika universal juga telah lazim berlaku. Yakni bahwa secara umum, toilet maupun tempat mandi publik untuk lelaki terpisah dari yang digunakan untuk kaum wanita. Apalagi bila dikaitkan dengan momen untuk menyambut bulan suci Ramadhan, maka akhlak yang suci dalam tradisi Padusan, atau yang lainnya semacam itu, yakni mandi untuk membersihkan diri, tentu harus lebih mengemuka lagi. Mandi harus dilakukan di tempat khusus yang tertutup, sehingga aurat dapat terjaga, dan tidak terjadi ikhtilath antara lelaki dan perempuan yang diharamkan dalam Islam. Camkanlah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here