Hukum Kebiri Bagi Pelaku Kekerasan Seksual pada Anak, Efektif atau Tidak?

522

Jakarta, Muslim Obsession – Indonesia menjadi salah satu negara timur dari lima negara di dunia yang meneken Peraturan Pemerintah (PP) no 70 yang berisi tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.

Tepat pada 7 Desember 2020 lalu, aturan itu diteken Presiden, yang merupakan turunan dari Pasal 81A ayat 4 dan Pasal 82A ayat 3 undang-undang no 17 tahun 2016 tentang perlindungan anak.

Berkaitan dengan hal tersebut Diyah Pupitarini, Ketua Umum PP Nasyiatul Aisyiyah (NA) mengatakan bahwa aturan ini harus dilihat dari dua kacamata. Pertama dari kacamata pelaku kemudian yang kedua kacamata korban.

“Dari sisi pelaku, jika kita melihat seacara hukuman, hukum itu kan hitam putih, apa yang dilakukan oleh pelaku dengan kekerasan seksual akan menjadi trauma seumur hidup. Jadi kalau dilihat secara hukum hitam dan putih memang hukuman kebiri ini bisa saja impas. Namun yang harus kita pikirkan juga adalah para pelaku kekerasan seksual ini kan yang harus dirubah mindset berpikirnya,” kata Diyah, dikutip dari redaksi Muhammadiyah.or.id, Rabu (6/1).

Menurutnya apabila seseorang sudah merasa kecanduan dan merasa sudah membiasakan melakukan kekerasan seksual kemudian itu membuat legitimasi bagi dirinya sendiri. Maka menurut Diyah penting juga untuk merubah mindset pelaku.

“Jadi jangan hanya pada persoalan fisik saja hukumannya tapi juga dari segi psikologis. Memang perlu adanya konseling bagi pelaku dan upaya rehabilitasi agar pola pikir kemudian juga pola hidupnya berubah,” jelas Diyah.

Hukuman Kebiri Efektif atau Tidak?

Tidak hanya pada pelaku, perhatian penuh juga harus diberikan pada korban. Karena hampir 100% korban kekerasan seksual akan mengalami trauma yang kesembuhannya juga tidak bisa cepat.

“Bisa jadi akan terus menghantui selama hidup. Maka perlu penguatan secara psikologis, pendampingan, harus diberikan pembinaan yang cukup intensif karena memang penyembuhannya memerlukan waktu yang cukup panjang,” papar Diyah.

PP yang sudah di ketok palu ini, lanjut Diyah, harus tetap dikritisi dan melihat bagaimana PP ini akan berjalan satu tahun kedepan atau beberapa bulan.

“Kalau ini nantinya memang cukup efektif ya bisa saja. Tapi jika dirasa tidak cukup efektif dan disesuaikan budaya timur bangsa Indonesia, kita juga perlu melakukan upaya untuk memberikan masukan kepada Presiden,” sambungnya.

Kedepannya, Diyah berharap jika ada rencana membuat PP yang serupa ada baiknya di sosialisasikan terlebih dahulu sehingga ada masukan dari berbagai pihak. “Ini saya kira bukan persoalan prestatif ya tapi ini harus dikritisi harus dikaji lagi apakah kemudian nanti berjalan efektif atau tidak,” terangnya.

Catatan penting dari PP ini adalah bahwa apakah pelaku akan sembuh dengan adanya hukuman ini? Karena pada dasarnya hukuman yang dirasa lebih efektif adalah hukuman yang berdampak pada perubahan  mindset pelaku.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here