Hari Pengungsi Sedunia, Pengungsi di AS Kisahkan Luka Lama

940

Durham, Muslim Obsession – Jauh sebelum larangan perjalanan Presiden Trump, pembatasan masuk ke AS dari beberapa negara kebanyakan Muslim, dan sebelum jutaan warga Suriah dan Irak yang melarikan diri dari perang saudara mulai membanjiri Eropa dan menetes ke AS, ada gelombang lain dari migrasi Muslim ke daerah ini.

Salah satunya ialah Almasa Bass. Dia dan sekitar 130.000 Muslim Bosnia lainnya, yang dikenal sebagai Bosniaks, menetap di AS sebagai akibat dari konflik berdarah di bekas Yugoslavia.

Dirinya tiba di negara bagian Washington, di saat remaja bersama orangtuanya dan adik perempuannya. Bass memulai kehidupan baru, belajar bahasa baru dan budaya baru, serta mengadopsi identitas nasional yang baru.

Hari Pengungsi Sedunia jatuh pada 20 Juni, yang didirikan oleh PBB untuk menarik perhatian terhadap penderitaan 68,5 juta orang yang terlantar di dunia atau sekitar 25 juta pengungsi.

Karenanya, Bass berterima kasih kepada Presiden Clinton dan AS karena menyediakan perlindungan untuk keluarganya dan sebuah rumah.

Tetapi, Bass masih melihat sekeliling dengan kesedihan pada dua puluh tahun silam.

“Ketika kami datang ke sini kami merasa disambut. Sampai hari ini saya tidak pernah merasa ada permusuhan,” kata Bass, yang kini usianya 41 tahun.

Bass sekarang tinggal di Durham, N.C., dengan suaminya beserta seorang putra berusia 8 tahun.

Steffen dan Almasa Bass, bersama anak laki-laki mereka Reiner (Foto: Dokumen Pribadi)

Namun, atas kebijakan pemerintah AS sekarang, Presiden Donald Trump telah memangkas jumlah total pengungsi yang akan diterima di AS, dari 110.000 pada tahun fiskal 2017 – sebuah bar yang ditetapkan oleh mantan Presiden Obama – menjadi 45.000 dalam fiskal 2018, yang dimulai pada bulan Oktober lalu.

Dia dianggap telah mendorong tindakan keras terhadap pencari suaka, pengurangan visa imigran dan pembangunan dinding perbatasan. Bahkan, ia menyerukan tuntutan kriminal terhadap semua yang ditangkap secara ilegal melintasi perbatasan.

“Hal ini sebagai dampak dari pasca Perang Dunia II yang lebih besar yang dipikirkan kembali tentang pengungsi dan migran lain yang terjadi tidak hanya di Amerika Serikat tetapi juga di seluruh Eropa,” kata Niklaus Steiner, direktur Pusat Inisiatif Global di Universitas North Carolina di Chapel Hill.

Setelah perang, menurut Steiner, para pemimpin Barat bersedia memberi kelonggaran kepada warga di zona konflik dunia yang kelelahan perang. Namun munculnya nasionalisme mengubah semua itu. Banyak pengungsi sekarang justru tertangkap di tengah kesusahan mereka.

“Pada akhirnya ini tentang identitas. Kebijakan pengungsi suatu negara adalah tentang bagaimana ia melihat dirinya sendiri dan ingin dilihat oleh orang lain,” kata Steiner.

Menurutnya, secara meningkat, AS tidak ingin dilihat sebagai negara yang mengambil imigran. Terlepas dari apakah mereka melintasi perbatasan Amerika Latin atau melarikan diri dari perang dan penganiayaan di luar negeri.

Kembali pada Bass, ia sangat hati-hati untuk menyimpulkan bahwa imigran berbeda dari pengungsi. Imigran itu orang-orang yang ingin pindah, sedangkan pengungsi ialah orang yang harus pindah.

“Orangtua saya tidak akan pernah berpikir untuk mencabut diri mereka sendiri dan bergerak ke negara lain. Mereka mengungsi karena tidak punya pilihan,” kisah Bass.

Pada tahun 1992 lalu, Bosnia-Herzegovina mendeklarasikan kemerdekaannya dari Yugoslavia. Selama beberapa tahun berikutnya, orang-orang Serbia Bosnia memulai kampanye pembersihan etnis yang diarahkan pada umat Islam, hingga mengakibatkan kematian sekitar 100.000 orang.

Peristiwa Itu dianggap sebagai tindakan genosida terburuk sejak penghancuran rezim Nazi terhadap sekitar 6 juta orang Yahudi selama Perang Dunia II.

Keluarga bass, Hadziahmetovics, termasuk di antara orang-orang yang terlantar. Mereka tinggal di kota Donji Vakuf, sekitar 80 mil sebelah utara Sarajevo, ketika pertempuran dimulai.

Saat orang-orang Serbia mulai merampok properti dan meneror orang-orang Bosnia, Almasa, ibu dan saudara perempuannya pergi ke Kroasia, tinggal di sebuah hotel yang dikuasai oleh orang-orang yang melarikan diri dari Bosnia.

Kemudian ayahnya bergabung dengan mereka tiga bulan kemudian. Ia berjalan kaki melintasi pegunungan dengan sekelompok Muslim yang melarikan diri. Namun, nenek Bass kurang beruntung. Dia dipukuli sampai mati oleh tentara Serbia.

Tapi berkat kebijakan pengungsi AS saat itu, keluarga tersebut boleh tinggal di Amerika. Mereka tiba di negara bagian Washington dan dibawa oleh Kathleene dan Randy Carville dari Benton City. The Carvilles saat itu adalah orang Kristen evangelis, yang mendorong anggotanya untuk mensponsori pengungsi.

Kenyataan bahwa Hadziahmetovics adalah seoarang Muslim, nyatanya tidak pernah menjadi masalah.

“Tuhan menyuruh untuk membantu para pengungsi,” kata Carville. “Jika Anda bisa, Anda harus. Jadi saya melakukannya,” imbuhnya.

Beberapa bulan kemudian, keluarga tersebut menemukan sebuah penginapan berkat bantuan sebuah masjid setempat. Tetapi mereka akhirnya pindah ke Toledo, Ohio, di mana orangtua Bass dapat menemukan serangkaian pekerjaan di sebuah pabrik melalui jaringan ekspatriat Bosnia.

Saat itu, Bass dan saudara perempuannya mulai belajar bahasa Inggris dan tumbuh besar di Amerika.

Kedua gadis itu bertekad untuk berhasil di sekolah mereka. Hingga Almasa akhirnya lulus dari sekolah menengah, lalu meraih gelar dokter farmasi. Sedangkan adik perempuannya, Mersiha, menjadi seorang onkologis.

Bass sekarang bekerja untuk perusahaan farmasi sebagai penghubung ilmu kedokteran spesialis penyakit menular. Dia adalah salah satu anggota pendiri Akademi Seni dan Sains Amerika Bosnia-Herzegovina.

Bass mencatat bagaimana perjuangan pengungsi lain, yakni ilmuwan Albert Einstein, yang melarikan diri dari penganiayaan Nazi untuk bermukim kembali di AS.

“Pengungsi telah berkontribusi cukup banyak untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di AS,” katanya.

Bass mengatakan, dia bermimpi untuk membantu orang-orang dari semua kelompok etnis.

Beberapa tahun lalu, orangtuanya kembali ke Bosnia dan memperbaiki rumah mereka. Menyedihkan, kondisi rumah mereka mengalami kerusakan signifikan selama perang.

Namun Bass tetap menjadi warga AS yang bangga dan ingin warisannya ditentukan di luar situasi masa mudanya. Namun, seperti kebanyakan orang Bosnia, Bass tidak mengenakan hijab. Dia juga menyayangkan belakangan ini dia merasa kurang terhubung dengan komunitas Muslim.

“Saya tidak ingin dicap sebagai pengungsi, tetapi sebagai warga negara yang produktif yang membalas jasa,” kata Bass.

“Aku ingin menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari ceritaku sendiri,” tandas Bass. (Vina)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here