Guru Bahagia Sukses dan Mulia

517

Kebutuhan Dasar

Untuk menjadi guru bahagia maka perlu pemenuhan dan pencapaian dalam hal kebahagiaan yang dirasakan oleh badan dan kebahagian yang dirasakan oleh jiwa.

Dalam hal ini ada baiknya mengetengahkan pendapat Maslow terkait hirarki kebutuhan dasar manusia untuk memahami bagaimana menjadi guru bahagia.

Terdapat lima tingkat kebutuhan dasar, yaitu: kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri.

Pertama, kebutuhan paling dasar pada setiap orang adalah kebutuhan fisiologis yakni kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya secara fisik. Kebutuhan-kebutuhan itu seperti kebutuhan akan makanan, minuman, tempat berteduh, tidur dan oksigen (sandang, pangan, papan).

Kebutuhan-kebutuhan fisiologis adalah potensi paling dasar dan besar bagi semua pemenuhan kebutuhan di atasnya. Manusia yang lapar akan selalu termotivasi untuk makan, bukan untuk mencari teman atau dihargai.

BACA JUGA: Hiduplah dengan Penuh Syukur

Kedua, kebutuhan-kebutuhan akan rasa aman ini diantaranya adalah rasa aman fisik, stabilitas, ketergantungan, perlindungan dan kebebasan dari daya-daya mengancam seperti kriminalitas, perang, terorisme, penyakit, takut, cemas, bahaya, kerusuhan dan bencana alam.

Ketiga, jika kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman telah terpenuhi, maka muncullah kebutuhan sosial seperti kebutuhan akan cinta, kasih sayang dan rasa memiliki-dimiliki.

Keempat, setelah kebutuhan dicintai dan dimiliki tercukupi, selanjutnya manusia akan bebas untuk mengejar kebutuhan egonya atas keinginan untuk berprestasi dan memiliki prestise.

Kelima, tingkatan terakhir dari kebutuhan dasar Maslow adalah aktualisasi diri, yaitu kebutuhan untuk membuktikan dan menunjukan dirinya kepada orang lain. Pada tahap ini, seseorang mengembangkan semaksimal mungkin segala potensi yang dimilikinya.

Tolok ukur kebahagian seseorang lebih jelas disabdakan Rasulullah ﷺ.

اربع من سعادة المرء: أن تكون زوجته صالحة، وأولاده أبرارا، وخلطائه صالحين، وأن يكون رزقه فى بلده. (رواه الديلمى)

“Empat perkara yang merupakan kebahagiaan seseorang, yaitu: pasangan hidup yang shalih, anak-anak yang baik/berbakti, teman-teman orang-orang yang shalih dan rezekinya di negerinya sendiri,” (HR Dailami).

Guru harus sudah selesai dengan kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Jika ia masih berkutat dan disibukkan dengan persoalan kebutuhan-kebutuhan dasar di atas bukan tidak mustahil kebahagiaan sulit untuk diraih.

Menjadi sulit untuk mencapai kepuasan jika mengukur ketercapaian kebutuhan-kebutuhan tersebut berdasarkan keinginan. Sebab, keinginan itu tidak terbatas. Sebaliknya, kebutuhan itu terbatas.

Menjadi Guru Bahagia

Telah disebut di atas bahwa kebahagiaan tidak hanya bersifat ragawi namun juga jiwa, di mana jiwa adalah yang paling utama. Rasulullah ﷺ bersabda, Sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging.

Jika segumpal daging tersebut baik maka akan baik pulalah seluruh tubuhnya. Adapun jika segumpal daging tersebut rusak mereka akan rusak pulalah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, segumpal daging tersebut adalah hati.(HR Bukhari dan Muslim).

Lagu Indonesia Raya mendahulukan jiwa lalu raga. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, demikian liriknya. Lalu bagaimana untuk mencapai guru bahagia? Sedikitnya ada sembilan yang harus dimiliki setiap guru, antara lain: ikhlas, sederhana, mandiri, memiliki rasa persaudaraan, berakhlak mulia, sehat jasmani, luas berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas.

Ikhlas berarti dalam berbuat guru tidak dipaksa oleh makhluk, namun segala perbuatan berdasarkan lillahi ta’ala. Perbuatan yang didasarkan pada keuntungan tertentu atau karena seseorang hanya akan menimbulkan kegelisahan, stres, dan tidak mustahil depresi.

Sederhana tidak berarti pasif atau nerimo, tidak juga berarti miskin dan melarat. Justru dalam jiwa kesederhanan itu terdapat nilai-nilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan dan penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup. Kesederhaan ini dapat diartikan manightarafa ghurfatan bi yadih (menceduk seceduk tangan).

فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ مُبْتَلِيكُمْ بِنَهَرٍ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ ۚ فَشَرِبُوا مِنْهُ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ ۚ فَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ قَالُوا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ ۚ قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: “Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia adalah pengikutku”. Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: “Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya”.

Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar,” (QS. Al-Baqarah: 249).

Mandiri berarti tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan atau belas kasihan pihak lain. Sikap mandiri ini menjadikan ketentraman jiwa karena tidak memiliki hutang budi dan tidak berharap kepada orang lain. Hal ini dikarenakan jiwa iffah atau menjaga martabat diri melalui kemandirian dalam hidup.

Rasa persaudaraan itu sangat penting dalam setiap individu guru. Sehingga akan tercipta suasana keakraban dan solidaritas antar sesama kehidupan bermasyarakat baik di lembagai pendidikan maupun di lingkungan tempat tinggal. Tidak jarang rasa persaudaraan mampu meredakan konflik yang terjadi di antara sesama.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat,” (QS. Al-Hujurat: 10).

Berakhlak mulia merupakan risalah Nabi Muhammad ﷺ. Sesungguhya aku diutus untuk meyempurnakan akhlak yang mulia (HR Bukhari). Kebalikan akhlak mulia adalah akhlak tercela yang mengundang dosa, dimana hanya akan berdampak pada kegelisahan jiwa dan penyakit raga.

عَنِ النَّوَّاسِ ابْنِ سَمْعَانَ رضي اللّه عنه قَالَ سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللّهِ صلّى اللّه عليه وسلّم عَنِ الْبِرِّ وَ اْلأِثْمِ فَقَالَ اَلْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَ اْلأِثْمُ مَا حَاكَ فِى صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ (أخرجه مسلم)

“Dari shahābat Nawās bin Sam’ān radhiyallāhu Ta’ālā ‘anhu, dia berkata: Aku bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tentang kebajikan dan tentang dosa. Kebajikan adalah akhlaq yang mulia. Dan dosa adalah apa yang membuat hatimu gelisah dan engkau tidak suka kalau orang-orang melihat apa yang engkau lakukan tersebut,” (HR. Imam Muslim dalam Shahīhnya).

Sehat jasmani sanga penting. Dengan tubuh yang sehat guru akan dapat melaksanakan tugas hidup dan beribadah secara optimal. Dalam Nahjul Balaghah dikatakan, ingatlah bahwa kemiskikan adalah bencana. Namun lebih buruk daripada kemiskinan adalah penyakit raga. Dan, lebih buruk daripada penyakit raga adalah penyakit hati.

Ingatlah bahwa banyak harta merupakan anugrah, namun lebih baik daipada banyak harta adalah tubuh sehat. Dan, lebih baik daripada tubuh sehat adalah hati yang bersih, suci, dan bersahaja.

Berpengetahuan luas adalah kewajiban bagi guru. Tanpa pengetahuan yang luas, guru tidak mampu memberikan lebih banyak bagi para peserta didik. Pepatah Arab mengatakan, faqidusy syai’ la yu’thi, orang yang tidak memiliki apa-apa tidak akan mampu memberi. Selain itu, dengan pengetahuan yang luas guru mampu berpikiran bebas yang mana kebebasan di sini merupakan lambang kematangan dan kedewasaan seorang guru.

Akhirul kalam, kebahagiaan tidak melulu bersifat materi. Karena manusia bukan sekedar ‘gugusan’ materi. Ada jiwa dalam raga, ada ruh dalam jasad, dan ada ukhrawi setelah duniawi. Untuk mencapai kebahagiaan, guru mesti memiliki kemampuan dalam me-manage keduanya secara proporsional, objektif, dan adil.

Wallahu a’lam bish shawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here