Gelar Pahlawan Bagi Kasman Singodimedjo (Tulisan 1)

1160

Pada tanggal 13 Desember 1959, dikeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian yang kemudian diubah dengan Perpres Nomor 25 Tahun 1960. Sebagai tindak lanjut dari Perpres tersebut, dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 1959 tentang Pengakuan, Pengawasan dan Pembubaran Partai-partai yang diikuti dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 128 Tahun 1961 tentang Pengakuan Partai-partai yang Memenuhi Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Partai-partai yang diakui adalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII, dan IPKI.

Selain itu juga dikeluarkan Keppres Nomor 129 Tahun 1961 tentang penolakan Pengakuan Partai-partai yang Memenuhi Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Partai-partai yang ditolak pengakuannya adalah PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa Daeng Lalo, dan Partai Rakyat Nasional Djodi Gondokusumo. Di samping itu melalui Keppres 440 Tahun 1961 diakui pula partai-partai politik, antara lain Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islam (Perti).

Pimpinan Masyumi dan PSI, pada 21 Juli 1960 dipanggil oleh Presiden Soekarno dan diberikan daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh mereka dalam jangka waktu satu minggu. Namun karena jawaban yang diberikan tidak memuaskan, pada 17 Agustus 1960 diterbitkan Keppres Nomor 200/1960 dan Keppres Nomor 201 Tahun 1960 yang ditujukan kepada kedua partai tersebut agar dalam jangka waktu 30 hari membubarkan diri. Jika hal itu tidak dipenuhi, maka partai tersebut akan dinyatakan sebagai partai terlarang.

Akhirnya pimpinan Masyumi dan PSI membubarkan partai mereka. Upaya pembubaran Masyumi ini terkait dengan adanya pemberontakan PRRI Permesta yang oleh banyak pihak diduga mendapatkan dukungan dari Partai Masyumi dan PSI. Pembubaran Masyumi menjadi salah satu wujud pertentangan antara pemerintahan demokrasi terpimpin dengan kelompok Islam Politik yang saat itu direpresentasikan oleh partai Masyumi. Pertentangan tersebut juga berakibat pada penangkapan tokoh-tokoh Islam yang dianggap kontra revolusi.

Pada 9 November 1963, Mr. Kasman dipanggil menghadap Komandan Korps Intelejen di Kantor Polisi Komisariat Jakarta Raya. Namun pemanggilan tersebut ternyata langsung diikuti dengan penahanan. Pada 16 November 1963, penahanan Mr. Kasman Singodimedjo dipindahkan ke Ciloto, Cianjur, tepatnya di kompleks sekolah kepolisian Sukabumi bersama-sama dengan Hamka dan Ghazali Syahlan. Dakwaan yang ditujukan kepada Mr. Kasman Singodimedjo adalah melanggar Pasal 169 ayat (1), (2), dan (3) KUHP yaitu turut serta dalam perkumpulan dan perserikatan lain yang bermaksud melakukan kejahatan, yang dilarang undang-undang dan diancam hukuman penjara setinggi-tingginya enam tahun.

Penahanan kemudian dipindah ke penjara Bogor dan dituduh mengadakan rapat gelap di Desa Cilendek bersama KH Sholeh Iskandar. Tuduhan lain yang dikenakan kepadanya adalah sebagai ketua kelompok empat yang berniat membunuh Presiden. Selain itu Mr. Kasman juga dituduh menyelewengkan Pancasila, merongrong kekuasaan negara dan mengajak orang untuk memusuhi pemeritahan Soekarno. Mr. Kasman dituduh melanggar Penetapan Presiden No. 11 Tahun 1963 dan No. 5 tahun 1963. Akhirnya, dakwaan tersebut diputus pada 14 Agustus 1964 dengan hukuman penjara 8 tahun, yang pada tingkat banding berubah menjadi 2 tahun 6 bulan. Setelah kekuasaan Soekarno runtuh dan digantikan oleh pemerintahan Orde Baru, tidak banyak lagi terdengar pemberitaan tentang Mr. Kasman Singodimedjo. Namun beliau tetap aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Mr. Kasman Singodimedjo, meninggal pada 25 Oktober 1982. (Bersambung)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here