Filosofi Puasa 6 Hari di Bulan Syawal

221
Ilustrasi. Foto Istimewa
Ilustrasi. Foto Istimewa

Oleh: Sulaeman Jajuli (Dosen UIN Banten)

Rehabilitasi, rekontruksi, renovasi, inovasi dan apapun sebutannya, yang jelas secara subtansial, full stop bidik tujunya berhenti di area dialektika proses ikhtiar menuju sebuah kesempurnaan. Kesempurnaan adalah utuhnya identitas subyek tanpa ada kekurangan apapun.

Dalam tataran konteks efistemologi teologis, sebuah kesempurnaan hanyalah mutlak milik Allah. Kalaupun ada kesempurnaan pada manusia berikut kapasitas nilainya, itu sebatas metaforis belaka yang nilainya nisbi.

Sebagai konsekuensi dialektika proses, maka menuju sebuah kesempurnaan, mesti ditopang oleh instrumen lain. Contoh dekatnya urusan politik makanan , yakni ia harus memiliki kandungan gizi lengkap, mulai dari karbohidrat, protein, vitamin, lemak dan mineral.

Tegasnya makanan dianggap lengkap, andai ditopang oleh 4 sehat 5 sempurna. 4 sehat terdiri atas: makanan pokok, lauk pauk, sayur, dan buah. 5 sempurna, yakni babak pamungkas ditutup dengan minum susu sebagai nutrisi tambahan.

Dari deskripsi prolog di atas, saya sentuhkan pada dimensi ritual (baca: ibadah). Ritual-ibadah-sebuah proses aktualisasi titah Allah yang dilakukan oleh seorang hamba, sebagai bentuk manifestasi pengabdian kepada-Nya.

Ia-Ibadah- adalah bagian integral dari satu kesatuan utuh dalam format syar’iat, dimana jenis dan coraknya variatif.

Contoh yang terbilang masih segar dan hangat, itulah dia puasa sebulan penuh di bulan suci Ramadhan, yang telah kita jalani. Puasa ramadhan adalah sebuah nilai keagungan tersendiri yang sungguh sempurna, hampa cacat.

Namun, nisbah konsekuensi bagi kita yang awam dan naif ketika menjalaninya, mungkin bahkan pasti jauh dari sempurna.

Oleh karena itu, ia mesti direkonstruksi, direhabilitasi, direnovasi dan diinovasi. Supaya struktur bangunannya menjadi kokoh dan indah. Dengan kata lain sempurna, sehingga bernilai pahala komersial di mata Allah.

Apa kiatnya? Laksanakan puasa 6 (enam) hari di bulan Syawal. Adapun kontruksi hukum yang menjadi basis dalilnya-antara lain-hadist shahih riwayat Muslim dari Abi Ayub seorang Anshar-RA, bahwa Rasul ﷺ bersabda, “Barang siapa yang telah menyelesaikan puasa bulan Ramadhan kemudian ia melanjutkan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka pahalanya seperti puasa satu tahun”.

Yang menjadi kerangka dasar filosofinya-sebagaimana dianut mayoritas ulama-, ia dianalogikan dengan kontruksi sunat ba’diyah dalam Shalat Fardhu. Tegasnya, anggaplah ia-puasa 6 hari di bulan Syawa- sebagai ” Puasa Ba’diyah Ramadhan”.

Ia hadir sebagai suplemen dan nutrisi bagi puasa Ramadhan. Mengingat, kita sadar dan jujur, bahwa ketika melaksanakan puasa Ramadhan tersebut, dipastikan terdapat banyak kekurangan dan kelemahannya.

Kapan teknis pelaksanaannya? Ada yang berpendapat, yang penting dilaksankan di bulan Syawal, tidak mesti berurut langsung dan ada yang berpendapat sebaliknya. Sesuai keberadaan dirinya seperti shalat sunat ba’diyah, tentu lebih pas dilaksanakan secara langsung berurutan waktu-tanpa tersekat jeda yang lebar.

Saya cenderung kepada pendapat yang terakhir, disamping bahwa menyegerakan suatu amalan, termasuk perbuatan yang paling baik.

Andaipun ada yang berpendapat, bahwa jangan dilaksanakan to the points langsung (mulai tanggal 2 Syawal) atas dasar pertimbangan menghargai momentum Idul Fitri, tidak ada dalil yang Qath’i, itu sebatas jurus dialektika normatif saja.

Puasa 6 hari di bulan Syawal seperti puasa 1 tahun. Rumus matematika pahalanya adalah 30 + 6 x 10 =360 (1 tahun). Puasa 6 hari bulan Syawal dianggap puasa wajib di bulan Ramadhan yang memiliki nilai pahala 10 kali lipat, berarti 60 = 2 bulan.

Puasa Ramadhan 30 hari, berarti 300 = 10 bulan, 10+2 = 12 bulan-1 tahun- ( lihat, al-‘Umrani, Al-Bayan Fi Madzhabi al-Imam al-Syafii’, vol 3 : 548 ).

Atas dasar rumusan tersebut, betapa besar pahala puasa 6 hari di bulan Syawal tersebut. Dan bisa dipastikan, bahwa yang tidak melaksanakannya, berarti puasanya kurang dari satu tahun (hanya sepuluh bulan).

Itu sekedar kalkulasi logika matematika pahala, perspektif asumtif prediktif belaka. Yang tahu hakikat sebenarnya, hanyalah Allah. Karena urusan pahala puasa sepenuhnya adalah otoritas privasi diri-Nya ( وأنا اجزى به). Yang paling prinsip, laksanakan dengan penuh keikhlasan-semata karena Allah.

Masih terbuka lebar pintu kesempatan untuk berpuasa enam hari di bulan Syawal. Let’s us carry out!!!

والله أعلم بالصواب

 

1 KOMENTAR

  1. Maaf sebelumnya Ustadz, ada sedikit koreksi tentang rumus matematika:

    30 + 6 x 10 =360 (1 tahun)

    Kalau kita ketik di kalkulator hasilnya = 90. Mengapa?
    Karena operasi matematika itu mengikuti kaidah yg sudah disepakati. Mungkin panjenengan tahu hanya lupa.
    Prioritas operasi matematika adalah, X : + -, jadi 30 + 6 × 10 =
    6 × 10 = 60 (ini akan dijalankan dulu)
    30 + 60 = 90

    Supaya tidak ngaco, maka 30 + 6 harus dikurung, shg menjadi sbb:

    (30 + 6) × 10

    = 36 × 10
    = 360

Tinggalkan Balasan ke Hanggno Batal balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here