Dokter di Inggris Ungkapkan Kepedihan Suriah

1888
Hala, (9 th) salah satu anak perempuan, sedang menerima perawatan di sebuah rumah sakit sementara. Setelah pemboman pemerintah Suriah di kota Saqba yang dikuasai pemberontak, di wilayah Ghouta Timur yang terkepung di pinggiran ibukota Damaskus. (Photo: AFP)  

London, Muslim Obsession – Dr. Ghanem Tayara, salah seorang dokter umum di Birmingham Inggris mengungkapkan kepedihan yang terjadi di Ghouta Timur Damaskus Suriah.

Menjelang kunjungannya ke Suriah pekan depan, Tayara mengatakan situasi di Ghouta Timur tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata, kecuali dengan kalimat mengerikan.

Lebih dari 346 orang terbunuh, 1.500 orang terluka dan lebih dari 13 rumah sakit dibom. Dengan setiap jam yang berlalu, korban tewas bertambah. Hampir tujuh tahun perang saudara di Suriah tanpa henti.

Sebagaimana dikutip dari Arab News, Jumat (23/2/2018), Tayara menuturkan, tidak ada krisis yang lebih akut selain sulitnya pasokan bantuan untuk masuk kawasan yang dikepung pemerintah Suriah.

“Tidak ada akses sama sekali, bahkan burung-burung pun bisa terbang di atas Ghouta sekarang,” ujar Tayara, yang merupakan ketua Perhimpunan Bantuan Perawatan dan Bantuan Medis (UOSSM), dengan pusat medis di lokasi sekitar Suriah, termasuk Ghouta.

Ia mengatakan, yang paling dibutuhkan sekarang adalah menghentikan operasi militer sepenuhnya dan membuka koridor untuk memberi bantuan ke daerah terkepung.

“Kami telah mengirim banyak pesan kepada pemerintah mereka. Untuk meminta izin masuk dan membantu korban (tapi) kami telah benar-benar diabaikan. Mereka ingin menciptakan kehidupan yang pedih tak tertahankan untuk semua warga sipil Suriah,” ujarnya.

Sejak saat serangan pada Ahad (18/2/2018) waktu setempat, oleh pasukan rezim yang didukung Rusia, pesawat militer hampir tidak meninggalkan langit Suriah. Bom, peluru dan rudal darat dilepaskan tanpa pandang bulu kepada 400.000 penghuni Ghouta Timur.

Tayara bukan satu-satunya yang kehabisan kata-kata untuk menggambarkan kematian dan kehancuran di Suriah. Bahkan, UNICEF baru-baru ini merilis pernyataan kosong. Kecuali satu kalimat “Tidak ada kata-kata yang akan adil terhadap anak-anak yang terbunuh, ibu mereka, ayah mereka, orang yang mereka cintai.”

Mereka bersembunyi mencari tempat penampungan di bawah tanah dan bangunan yang dibom, seringkali dengan sedikit atau tanpa akses makanan, air atau sanitasi.

Selain tim medis dari Inggris, dilaporkan para medis dari Amerika untuk Suriah kehilangan koneksi dengan staf pusat.

“Semua staf dan pasien terjebak di tempat penampungan darurat dan berjam-jam kami tidak mendengar kabar apa-apa. Kami benar-benar gugup,” katanya.

Tayara mengungkapkan, pemboman dan pembantaian benar-benar acak. Anak-anak mencoba untuk bersembunyi, tapi tidak ada tempat yang aman untuk mereka. Korban terbaring di bawah puing berjam-jam karena petugas medis tidak dapat menghubungi mereka.

“Namun, waktunya akan tiba ketika kita harus mempresentasikannya di depan pengadilan. Ini benar-benar pembantaian sistematis kepada orang-orang Suriah di mata masyarakat internasional,” ujarnya.

Sejak awal 2017, makanan, obat-obatan, bahan bakar, persediaan kantong darah, anestesi dan antibiotik intravena telah habis. Juga persediaan dasar lainnya semakin langka.

Majid Al Asemi, direktur operasi Acting for Change International, sebuah LSM yang beroperasi di Suriah, mengatakan, rumah sakit ditargetkan secara sistematis. Tidak ada layanan darurat, hanya layanan dasar dan rumah sakit kecil yang tersisa.

“Sulit untuk memutuskan siapa yang mendapat bantuan dan siapa yang tidak. Bila seluruh masyarakat membutuhkan bantuan. Dokter anak harus memilih bayi mana yang mendapatkan susu dan mana yang tidak. Itu keputusan yang mustahil,” ujarnya.

Dr. Ahmad Dbis, kepala keselamatan dan keamanan UOSSM, mengatakan staf medis menolak untuk pergi, meskipun mereka akan menjadi target sasaran.

“Mereka merasa itu adalah tugas mereka untuk tinggal di sana dan memberikan layanan,” katanya.

Mereka berfikir, tidak ada tempat yang aman di Ghouta. Pekan lalu, saat Ahmad menelepon rekannya di Suriah, tiba-tiba sambungan telepon terputus.

“Saya mendengar bom di balik telepon. Tiga puluh menit kemudian, saya tahu dia tewas. Dia sempat mengatakan, ‘Segera! tidak ada kata istirahat bagi korban yang terluka. Jika ini berlanjut selama satu minggu, semua fasilitas medis akan hancur dan banyak lainnya akan mati’,” ujarnya.

Aous Al-Mubarak, seorang aktivis masyarakat sipil yang berbasis di Ghouta Timur, mengatakan orang-orang di Suriah merasa ditinggalkan.

“Ada kekecewaan di sini, saat dunia hening terhadap pembantaian dan kepedihan yang kami alami,” ungkapnya.

Bahkan, Mubarak mengatakan penduduk Suriah sudah bosan berbicara dengan media.

“Orang-orang sangat khawatir dengan situasi saat ini, yang mungkin akan berlanjut berhari-hari, atau bahkan berminggu-minggu atau berbulan-bulan,” tandasnya. (Vina)

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here