Dengan Iman Menuju Kemuliaan

Artikel ini merupakan persembahan penulis pada Milad Parmusi XXII yang jatuh pada Ahad, 26 September 2021.

561

Oleh: Aunur Rofiq (Sekretaris Majelis Pakar Parmusi)

Seseorang yang beriman akan memiliki rasa harga diri yang lebih besar dan lebih mantap. Dia memiliki keyakinan bahwa Allah Swt. senantiasa akan memberikan perlindungan, bimbingan dan pertolongan.

Firman Allah Swt., “ Allah Pelindung orang-orang yang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan ( kekafiran ) kepada cahaya ( iman ). Dan orang-orang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan,” (QS. Al-Baqarah [2]: 257).

Ayat ini menjelaskan bahwa orang beriman akan terlindungi, mendapat bimbingan dan pertolongan-Nya. Dalam hal Allah memberikan pertolongan telah diperkuat firmannya,” Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman,” (QS. Ar-Ruum [30]: 47).

Dikisahkan, Rub’i bin Amir seorang Arab Badui yang buta huruf, setelah iman meresap ke dalam jiwanya dan cahaya Al-Quran telah memancar dalam hatinya, sehingga tidak sedikit pun ada rasa takut ketika menghadapi Rustam, Panglima Besar tentara Persia.

Ketika panglima ini bertanya kepadanya, “Siapakah kamu?” Maka jawaban yang diberikan benar-benar gambaran seorang muslim yang tahu akan harga dirinya. Inilah jawabannya:

“Kami adalah kaum yang dikirim oleh Allah untuk berjuang membebaskan umat manusia, dan hanya menyembah kepada Allah semata. Membebaskan mereka dari sempitnya dunia, kesempitan dunia kepada alam yang luas, dan dari kekejaman berbagai agama kepada keadilan Islam.”

Inilah pandangan orang buta yang mata hatinya terang benderang atas orang yang menyusuri lorong kegelapan. Rasa percaya diri dan harga diri sebagai seorang muslim tercermin dari jawaban Rub’i bin Amir.

Tidaklah mudah menemukan sikap percaya diri dan mempunyai harga diri pada kehidupan saat ini. Keimanan yang bisa menuntunnya. Para pemimpin di negara-negara muslim pun tidak banyak yang bisa bersikap seperti ini.

Iman akan membangun persepsi bahwa seorang hamba memiliki kemuliaan di sisi Allah, mulia dalam penilaian malaikat dan menjadi pemimpin di alam ini. Dengan persepsi ini dalam diri orang beriman akan tumbuh perasaan harga diri, perasaan adanya hubungan antara dirinya dengan alam semesta sehingga hilanglah perasaan rendah diri dan hampanya jiwa.

Sebagai seorang mukmin merasa bahwa alam ini berkhidmat pada dirinya, para malaikat senantiasa mendampinginya. Manusia diciptakan tidak sampai pada alam fana ini, namun menuju alam yang lebih kekal. Kehidupan di alam fana ini dimaksudkan agar manusia dengan keimanannya dapat mengumpulkan bekal untuk kehidupan berikutnya.

Sebagai penguasa bumi, manusia dituntun keimanannya dan dibekali ilmu pengetahuan dan teknologi sebagi wasilah untuk menjaga dan memakmurkannya.

Akan sangat berbeda dibandingkan orang yang tidak beriman. Kehampaan hidup yang dirasakan, sehingga kehilangan makna dan menilai dirinya tidak lebih dari sekadar hewan. Kematian seseorang yang tidak beriman merupakan akhir dari segalanya, karena merasa tiada perlu menpersiapkan bekal di kehidupan selanjutnya.

Seorang yang beriman akan bersikap amanah terhadap tugas-tugas yang dijalankan. Kisah Ubay bin Ka’ab yang diutus Rasulullah untuk mengumpulkan zakat. Meski ada tawaran untuk zakat yang lebih dari perhitungannya, namun ditolaknya tawaran tersebut dengan mempertemukan kepada Rasulullah.

Disamping itu hamba yang beriman akan mengakui kesalahannya jika ia berbuat salah dan bersedia menerima hukuman.

Kita akan sulit menemukan sikap ini di dalam kehidupan saat ini. Yang berbuat salah akan berusaha menutupinya, jika ketahuan salahnya akan berusaha untuk bebas dari hukuman atau dihukum seringan-ringannya.

Dikisahkan oleh Imam al-Ghazali bahwa Yunus bin Ubaid berjualan pakaian pada sebuah kios dengan harga beragam. Singkat cerita, ketika ia pergi mengerjakan shalat, kios dijaga oleh anak saudaranya.

Datang seorang Arab Badui membeli pakaian seharga 400 dirham tentu setelah saling cocok antara penjual dan pembeli.

Ketika Yunus dalam perjalanan ke kios ketemu Arab Badui yang menenteng pakaian dari kiosnya, ditanyakannya, “Berapa harga pakaian ini?” Dijawab, “Empat ratus dirham.” Padahal pakaian itu dijualnya seharga 200 dirham, maka dikembalikannya kelebihan bayar tersebut meski sudah saling sepakat dalam transaksi.

Pengusaha secara kebiasaan mencari keuntungan yang berlebih, hingga tidak jarang akan menafikan kejujuran dan meningkat pada sifat rakus. Jika iman masih bercahaya dalam hati, tidak mungkin hal itu dilakukan.

Ini contoh seorang pemimpin yang beriman. Semua kemewahan yang dia miliki dilepaskannya dengan hidup sederhana dan hanya memiliki sepotong baju dalam.

Suatu hari dia meminjam satu dirham pada istrinya untuk membeli buah anggur, namun sang istri juga tidak memiliki sepeserpun. Istrinya berkata, “Engkau adalah Amirul Mukminin, tetapi dalam hal harta engkau tidak ada uang untuk membeli buah anggur.” Maka jawabnya, “Adalah lebih sulit melepaskan belenggu membara di hari kiamat.”

Dia adalah Umar bin Abdul Aziz. Dalam masa pemerintahannya yang relatif singkat, namun berhasil membuat rakyatnya sejahtera. Inilah dampak dari bimbingan hati sanubari seorang yang beriman dalam mengelola pemerintahan dan peradilan.

Negeri ini sudah beberapa kali melakukan Pilkada serentak untuk memilih ratusan kepala daerah, sungguh masih miskin adanya pemimpin beriman seperti Amirul Mukminin Umat bin Abdul Aziz.

Semoga dalam kurun waktu sampai 2024 pelaksanaan Pilkada, Pilpres, dan Pileg bisa mendapatkan benih-benih pemimpin yang beriman.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here