Demokrasi Tanpa Perempuan, Apa Jadinya?

422

Oleh: Ninin Herlina (Alumnus Kajian Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia)

Kenapa keterwakilan perempuan di politik belum mencapai 30% hingga saat ini?

Karena ‘perempuan’ masih ditafsirkan sebagai makhluk yang didominasi oleh rasa. Sementara ‘politik’ diidentikkan dengan aktifitas yang melibatkan logika semata. Kedua hal ini seakan menjadi sesuatu yang tak mungkin untuk disatukan.

Padahal sejatinya politik itu adalah simbol kebijaksanaan. Jalan menuju kebijaksanaan tentu membutuhkan kematangan dalam mengelola rasa dan logika. Sehingga rasa dan logika ini tidak bisa dipisahkan dalam upaya mengatur kehidupan manusia.

Kehidupan manusia menghendaki adanya kesejahteraan bersama. Dan ini semestinya menjadi misi utama dalam aktifitas politik. Sehingga kesejahteraan bersama ini akan diupayakan secara bersama-sama baik laki-laki maupun perempuan. Laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk memperjuangkan kesejahteraan dan menebar manfaat seluas-luasnya bagi khalayak.

Lebih jauh Lovenduski (2008) memandang bahwa peran-peran yang dimainkan oleh perempuan dan laki-laki dalam politik tergantung tidak hanya pada satu sama lain, tetapi juga pada hakikat lembaga-lembaga politik. Bagaimana kekuasaan lembaga-lembaga membentuk maskulinitas dan feminitas. Lembaga-lembaga politik merupakan rezim gender dengan ideologi-ideologi khusus mengenai bagaimana kaum perempuan dan laki-laki harus bertindak, berfikir dan merasa.

Tentu hal ini menjadi catatan penting dalam perkembangan demokrasi kita saat ini. Apakah perempuan sudah mempersiapkan diri untuk turut andil menciptakan kesejahteraan bersama, apakah perempuan sudah berupaya meningkatkan kapasitas diri dalam mengelola rasa dan logika?

Hal sederhana ini nampaknya perlu ditelaah secara lebih serius. Sehingga kita tidak lagi memandang bahwa perempuan sebagai subjek yang hanya mengurus urusan ‘rasa’ saja dan laki-laki mengurus hal-hal yang berkaitan dengan logika semata. Sudah semestinya kita mengakhiri tafsiran-tafsiran yang melemahkan kaum perempuan.

Karena hal yang lebih penting adalah bagaimana terus mengembangkan potensi perempuan secara maksimal sehingga kehadirannya benar-benar menjadi tiang negara. Kekuatan rasa yang dimiliki perempuan bisa menjadi unsur empati yang menjunjung kepedulian, saling menghargai dan saling asih.

Tidak jarang kita mendengar bahwa perempuan memiliki gerak terbatas karena kodratnya sebagai perempuan. Tidak jarang perempuan juga merasa tidak berdaya dengan kodrat tersebut.

Inilah yang kemudian menjadi salah satu pemicu untuk mengkerdilkan keterlibatan perempuan dalam dunia politik. Sehingga keterlibatan perempuan dalam politik sampai saat ini masih belum signifikan. Meskipun dalam perkembangannya sebagai negara demokrasi, pemerintahan Indonesia terus berupaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam dunia politik.

Representasi perempuan terus meningkat setiap periode, dari tahun 2004-2009 mencapai 11 %, tahun 2009-2014 terhitung 18 % dan pada pemilu 2019, keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Nasional (DPR-RI) berada pada angka 20,8% atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPRI-RI (KPU, 2019).

Artinya, pemerintah sudah menyadari betapa demokrasi memerlukan kesetaraan. Demokrasi memerlukan kaum perempuan. Hal inilah yang seharusnya terus diupayakan dengan lebih serius. Bagaimana mencapai angka 30% keterwakilan perempuan itu harus di dukung dengan keberpihakan yang jelas.

Lembaga-lembaga politik sudah semestinya menerapkan aturan politik yang lebih feminis agar keterlibatan perempuan tidak hanya sebagai pelengkap saja tapi benar-benar hadir memainkan peran strategis. Bagaimanapun pertimbangan utama perempuan adalah keluarganya. Sehingga tidak mudah untuk aktif dalam politik tanpa adanya dukungan dari sekitar.

Untuk agenda pesta demokrasi tahun 2024 nanti kita berharap sudah banyak muncul perempuan-perempuan yang cerdas mewarnai panggung politik tanah air. Syarat keterwakilan 30% perempuan bukan sebatas syarat suatu partai lolos verifikasi di KPU. Tapi bagaimana perempuan harus turut mengawal demokrasi di pemerintahan bumi pertiwi ini. Karena demokrasi tanpa perempuan itu omong kosong. (**)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here