Bung Karno: “Dan Hendaknya Negara Indonesia Satu Negara yang ber-Tuhan!”

1755

Makna Ketuhanan Yang Maha Esa

Indonesia yang kemerdekaannya diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, tidak otomatis mewujud menjadi negara yang merdeka dan berdaulat. Diperlukan waktu lima tahun, diselingi dengan perang dan perundingan, sebelum akhirnya bangsa Indonesia benar-benar bebas dari penjajahan fisik bangsa lain.

Pada masa itu, konstitusi negara pun datang silih berganti. Akan tetapi, Ketuhanan Yang Maha Esa tetap dipertahankan sebagai dasar negara, sebagai sila pertama dari Pancasila. Demikian di dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat, begitu pula di dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menurut Bung Hatta adalah fundamen moral. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan segala yang baik, sedangkan dasar perikemanusiaan adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktik hidup daripada dasar-dasar yang memimpin tadi. Dan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya dasar hormat menghormati agama masing-masing, melainkan pula menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, dan kejujuran.

Menurut Arnold Mononutu, seorang Nasrani dan tokoh PNI, “Pancasila merupakan manifestasi dari ajaran-ajaran Injil. Ketuhanan Yang Maha Esa bagi kami, pokok dan sumber dari sila-sila lain. Tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa, Pancasila akan menjadi satu filsafat materialistis belaka.”

Atau seperti dikatakan oleh Perdana Menteri Djuanda dalam jawaban resmi atas pertanyaan K.H. A. Sjaichu, anggota DPR dari Partai NU, mengenai makna konsiderans Dekrit Presiden 5 Juli 1959: “….kepada perkataan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat diberikan arti ‘Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syari’atnya’ sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan bagi pemeluk agama Islam, yang dapat disesuaikan dengan syari’at Islam.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here