Bung Karno: “Dan Hendaknya Negara Indonesia Satu Negara yang ber-Tuhan!”

1754
Bung Karno dan Bung Hatta
Bung Karno dan Bung Hatta saat membacakan teks Proklamasi.

Oleh: Lukman Hakiem (Peminat Sejarah)

DI ANTARA isu penting dalam proses pembentukan Negara Republik Indonesia ialah mengenai hubungan agama dengan negara, yakni apakah urusan agama harus terpisah dari, atau menyatu dengan urusan negara.

Ketika meresmikan Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai (Badan Penjelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, BPUPKI), pada 1 Maret 1945, Kepala Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia (Saikoo Sikikan) melemparkan pertanyaan kepada BPUPKI: “Filsafat apa yang nanti akan menjadi dasar negara Indonesia?”

Menurut Saikoo Sikikan, mendirikan negara merdeka yang baru bukanlah usaha yang mudah, lebih-lebih lagi jika tidak mempelajari, menyelidiki, dan merencanakan dengan seksama dan teliti segala usaha untuk meneguhkan kekuatan pembelaan, dan soal-soal yang menjadi dasar negara.

Terlepas dari maksud Jepang membentuk Badan ini, bagi kaum pergerakan, pembentukan BPUPKI membawa rahmat tersembunyi, yakni terbukanya kesempatan untuk mendiskusikan hal-hal mendasar mengenai masa depan negara yang akan dibentuk.

Dilupakan Sejarah

Menggunakan kesempatan emas itu, Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo (1890-1954), dalam pidato di BPUPKI, 31 Mei 1945, menawarkan gagasan Islam sebagai dasar negara. Bagi Ki Bagus, Islam layak menjadi dasar negara karena agama ini membentuk potensi kebangsaan lahir dan batin serta menabur semangat kemerdekaan yang menyala-nyala.

Dalam apresiasinya yang sangat tinggi terhadap gagasan Ki Bagus, Ir. Soekarno (1901-1970) –yang dalam pidato 1 Juni 1945 sepuluh kali menyebut nama Ki Bagus– menawarkan dasar kebangsaan (nationale staat) bagi Negara Indonesia yang akan dibentuk. Namun, Negara Indonesia yang berdasar kebangsaan itu pun, hendaknya bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI) itu menekankan: “Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan!”

Dengan gagasan yang berdekatan antara kedua tokoh tersebut, tidak mengherankan jika Panitia Delapan –yang ditugasi oleh BPUPKI untuk menginventarisir usul mengenai dasar negara– mencatat 7 usul mengenai dasar negara, dengan suara terbanyak menghendaki Ketuhanan (dengan berbagai kombinasinya) sebagai dasar negara.

Maka, juga tidak mengejutkan jika dalam rumusan Preambule Undang-Undang Dasar (UUD) hasil Panitia Sembilan (pengganti Panitia Delapan) tertanggal 22 Juni 1945 (yang dikenal sebagai Piagam Jakarta), Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya disepakati –dalam kata-kata Ketua BPUPKI Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat—“dengan suara sebulat-bulatnya.” menjadi sila pertama dari Pancasila.

Penerimaan secara bulat itu, mustahil dilepaskan dari pengaruh dan wibawa Ketua Panitia Sembilan, Ir. Soekarno. Pembentukan Panitia Sembilan sepenuhnya merupakan prakarsa pribadi Bung Karno, dan dia juga yang sungguh-sungguh “memasang badan” mempertahankan rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 –yang disebutnya sebagai kompromi antara golongan Islam dengan golongan Kebangsaan– dari berbagai kritik dan keberatan anggota BPUPKI, termasuk dari Ki Bagus Hadikusumo, dan K.H. Masjkur.

Inilah yang dilupakan orang saat berbicara Piagam Jakarta. Muncul kesan seolah-olah Piagam Jakarta identik dengan dan menjadi monopoli golongan Islam. Muncul juga kesan seolah-olah golongan Kebangsaan anti-Piagam Jakarta. Padahal fakta sejarah menunjukkan, dengan seluruh kemampuan dan wibawa yang dimilikinya, Bung Karno meyakinkan semua fihak untuk menerima rumusan hasil Panitia Sembilan.

“Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya sukalah Saudara-saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan bangsa kita, pengorbanan kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan supaya Indonesia Merdeka bisa lekas damai,” kata Bung Karno.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here