Bersandar Hanya kepada Allah, Jangan pada Amal

1834
Ilustrasi: Seorang muslim sedang melaksanakan shalat. (imb)

Oleh: Drs H. Tb Syamsuri Halim, M.Ag (Pimpinan Majelis Dzikir Tb. Ibnu Halim dan Dosen Fakultas Muamalat STAI Azziyadah Klender)

Syekh Ahmad bin Muhammad Athaillah As-Sakandari atau Ibnu Athaillah, seorang ulama yang hidup pada tahun 1250 M sampai dengan tahun 1309 M, membahas banyak tema yang menarik dalam Kitab Al-Hikam. Satu di antaranya adalah anjuran untuk bersandar hanya kepada Allah, bukan pada amal perbuatan.

Syekh Ibnu Athaillah mengatakan:

مِنْ عَلاَمَةِ اْلاِعْـتِــمَادِ عَلَى الْعَمَلِ، نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُـودِ الزَّلــَـلِ

“Di antara tanda-tanda orang yang senantiasa bersandar kepada amal-amalnya, adalah kurangnya ar-raja’ (rasa harap kepada rahmat Allah) di sisi alam yang fana.”

Penjelasan

Ar-raja berarti pengharapan seorang hamba kepada Tuhannya. Pengharapan ini ditujukan kepada Hamba Allah yang ingin kembali kepada-Nya, sebagai bukti kedekatan seorang hamba kepada-Nya. Sifat yang diharapkan adalah Hamba Allah yang ingin Taqarrub atau mendekatkan diri kepada-Nya dalam kondisi apapun juga, baik dalam keadaan taat atau maksiat.

Adapun I’timad artinya menyandarkan diri atau condong. Sedangkan Amal adalah gerakan hati dan badan untuk melakukan sesuatu. Jika gerakan tersebut condong kepada kebaikan dan keridhaan Allah maka dinamakan dengan KETAATAN. Akan tetapi jika gerakan itu condong kepada hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam maka dinamakan dengan KEMAKSIATAN.

Kalimat “wujuudi zalal”, artinya keterikatan seseorang kepada Wujud (bentuk) yang akan hancur atau alam Fana (tidak kekal).

Akan tetapi walaupun mengetahui bahwa dunia ini akan hancur, namun karena hawa nafsu dan syahwat yang begitu kuat, seseorang tidak bisa lepas bahkan sangat mencintai Alam Fana ini.

Berbeda dengan Mukmin yang kuat tauhidnya dan masih hidup di dunia, meski mereka terikat pada semua Wujud yang Fana, namun dia tetap berharap kepada Allah Ta’ala.

Jika kita berharap akan rahmat-Nya, maka kita tidak akan menggantungkan harapan kepada amal-amal kita, baik itu besar atau pun kecil.

SULUK QOLBU/JALAN HATI: “Apa saja yang kita dicari dalam hidup ini pasti ada ujian untuk mengetahui tentang kualitas Raja (harapan) kita kepada Allah Ta’ala”.

Nabi ﷺ bersabda:

لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ أَحَدٌ بِعَمَلِهِ قِيْلَ وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ بِرَحْمَتِهِ

“Tidaklah seseorang masuk surga dengan amalnya”. Ditanyakan, “Sekalipun engkau wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Sekalipun saya, hanya saja Allah telah memberikan rahmat kepadaku,” (HR. Bukhari 5673, Muslim 2816).

Dalam beramal ibadah pasti punya pengharapan kepada Allah, meminta kepada Allah supaya diterima pengharapannya. Namun demikian jangan sampai beramal Ibadah itu bergantung pada amalnya, karena hakikatnya yang menggerakkan kita untuk melakukan amal ibadah adalah Allah Taala.

Jadi ketika terlanjur berbuat maksiat janganlah putus asa dari Rahmat Allah, seakan-akan apa yang dilakukanya tidak diterima Allah Ta’ala. Akhirnya ini mempengaruh kualitas Amal Shalih yang akhirnya berhenti beramal.

Beramal itu dilakukan atas kehendak Allah Ta’ala. sedangkan diri kita hanya sebagai media agar Qudrat Allah Ta’ala berlaku untuk kita.

Kalimat: Laa ilaha illallah. Tiada Tuhan melainkan Allah, berarti tidak ada tempat bersandar, berlindung, berharap kecuali Allah, tidak ada yang menghidupkan dan mematikan, tidak ada yang memberi dan menolak melainkan Allah Ta’ala.

Pada dasarnya syari’at menyuruh kita berusaha dan beramal. Sedang hakikat syari’at melarang kita menyandarkan diri pada amal dan usaha itu, supaya tetap bersandar pada karunia dan rahmat Allah Ta’ala.

Kita dilarang menyekutukan Allah dengan hal-hal yang bersifat kebendaan karena semuanya adalah Makhluk-Nya. Begitupun kita tidak boleh menyekutukan Allah dengan kekuatan yang ada pada diri kita, misalnya kecerdasan kita, seakan-akan kita bicara “semua masalah dapat diselesaikan dengan kehebatan rasio kita.

Ingatlah! Bila ini kita ungkapkan berarti kita telah melakukan kemusyrikan. Maka yang benar adalah apa yang kita cari solusinya, selebihnya kita serahkan kepada Allah Ta’ala dengan doa dan harapan.

Wallahu a’lam bish shawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here