Belajar Kepemimpinan pada Nabiyullah Ibrahim AS

2219
Kabah dahulu
Umat Islam masa lalu saat shalat di Ka’bah.

Usamah menegaskan, dalam mempertahankan idealismenya Nabi Ibrahim berani berargumen dengan baik, sekaligus mengarahkan kaumnya pada ketauhidan. Sebuah idealisme yang didasari oleh ketaatannya kepada Allah Swt.

“Meski kisah tersebut berlaku saat beliau masih remaja, namun kisah seputar kuatnya idealismenya berlangsung hingga ia menutup mata. Keimanannya kokoh tak pernah tergoda oleh bisikan-bisikan menyesatkan,” urainya.

Hal ini terbukti pada kisah lainnya, yakni ketika Nabi Ibrahim AS diperintahkan oleh Allah Swt. untuk menyembelih puteranya, Ismail. Saat itu Nabi Ibrahim AS sudah sangat tua, sedangkan Ismail adalah anak kesayangannya yang sangat didambakan sejak lama.

Ketaatan Ibrahim kembali diuji, namun ia kembali berhasil dalam menjalankannya. Ujian ini tentu terasa jauh lebih berat dari sekedar menghancurkan berhala-berhala di masa mudanya. Ibrahim tetap kokoh memegang prinsip dan idealisme sekaligus loyalitas dan totalitas yang tinggi kepada Allah semenjak masih muda sampai ia sudah tua.

“Karakter kuat inilah yang sangat kita butuhkan dalam kehidupan di negeri ini. Kita butuh sosok pemimpin yang teguh memegang prinsip dan idealisme dalam bingkai keimanan dan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Pemimpin yang taat beribadah, beramal saleh, serta komitmen terhadap perjuangan izzul Islam wal muslimin, menjadikan Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin,” ungkap Usamah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here