Anang Eko Priyono, Suluh Pemikiran Kaum Cendekiawan

1014
AE Priyono. (Foto: alinea.id)

Oleh: Lukman Hakiem (Co-editor Dinamika Sejarah Islam Indonesia)

SUATU siang di sebuah rumah makan Padang yang mulai menjamur di Yogyakarta, secara tidak sengaja saya bertemu dengan Anang Eko (AE) Priyono.

Sesama Penulis

SAYA mengenal Anang (demikian saya biasa menyapanya), sebagai sesama aktivis HMI Cabang Yogya. Anang pernah menjadi Ketua HMI Komisariat Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH-UII), sedangkan saya pernah menjadi Sekretaris HMI Komisariat Fakultas Keguruan Ilmu Sosial (FKIS) IKIP Yogyakarta.

Pada periode kepemimpinan Zulkifli Halim, kami sama-sama dipercaya menjadi Ketua Bidang.

Di luar urusan HMI, kami akrab lantaran sama-sama suka menulis. Bedanya, saya menulis untuk menyambung hidup; Anang menulis –saya duga– untuk mengembangkan intelektualitasnya. Dugaan itu berdasarkan kenyataan, tulisan saya sering muncul di media massa seperti Kedaulatan Rakyat di Yogya atau Sinar Harapan di Jakarta; Anang seingat saya tidak menulis di media umum. Anang menyibukkan dirinya dengan mengasuh pers di kampusnya.

Di FH-UII, Anang pernah memimpin majalah mahasiswa Keadilan. Beberapa kali saya diwawancarai dan diminta menulis di majalah ini.

Di tingkat UII, Anang, bersama Mahfud MD, dan Hamid Basyaib, menggawangi majalah Muhibbah, kemudian Himmah. Beberapa senior majalah ini antara lain Amir E. Siregar, Syarief Hans, Ezrin R, dan Totok Daryanto.

Di Muhibbah dan Himmah saya juga beberapa kali diwawancara dan diminta menulis. Bahkan dalam beberapa kali penataran jurnalistik, saya diminta membagi pengalaman.

Sejak semula saya mengagumi tulisan Anang yang reflektif dan mendalam.

Suatu kali saya mengatakan kepada Anang bahwa saya iri kepadanya karena tulisannya yang berbobot. Sambil tersenyum, Anang menjawab: “Ah, Anda ini.”

Dinamika Sejarah Islam

KAMI duduk satu meja, dan memulai obrolan dari yang ringan, sampai ke yang agak berisi.

Entah siapa yang memulai, kami “ngrasani” para cendekiawan yang di pertengahan pertama tahun 1980-an itu mulai bermunculan di Yogya setelah mereka menyelesaikan studi master atau doktor di mancanegara.

Dalam acara “ngrasani” kaum cendekiawan itu, tiba-tiba Anang menyergah dengan pertanyaan,”Anda mengikuti pemikiran Kuntowijoyo?”

Spontan saya jawab,”Bukan hanya mengikuti, tapi menggemari.”

“Sama dong.”

Saya kemudian bercerita bahwa saya punya banyak makalah Mas Kunto. Ada juga ceramah lisan yang saya transkrip, kemudian saya kirim ke majalah Kiblat, tempat saya “bekerja” sebagai koresponden di Yogya.

“Saya juga mengoleksi naskah-naskah Pak Kunto. Jika koleksi kita disatukan, mungkin bisa jadi buku,” kata Anang.

Sejak pertemuan tidak sengaja di warung Padang itu, kami intens bertemu untuk mewujudkan gagasan menerbitkan kumpulan tulisan Dr. Kuntowijoyo.

Di zaman belum ada komputer itu, supaya kumpulan tulisan itu menyerupai buku, semua naskah yang kami miliki, diketik ulang.

Kami berbagi tugas. Saya menawarkan diri untuk mengetik ulang dan mensistematisir naskah,  Anang yang selalu berpikir mendalam, saya minta menyiapkan Pendahuluan.

Sampai semua naskah selesai dirapikan, Anang belum juga menyerahkan Pendahuluan. Saya maklum belaka.

Membikin Pendahuluan untuk buku pemikir sekaliber Mas Kunto, tentulah tidak mudah. Saya serahkan tugas itu ke Anang, karena saya merasa tugas itu tidak mungkin saya emban.

Suatu hari Anang muncul di kosan saya. Belum saya tanya, dia sudah berterus terang, Pendahuluan belum dia tulis. Berat, katanya.

Hari itu, Anang mengajak saya ke rumah Mas Kunto. “Kita harus wawancarai Pak Kunto untuk bahan penulisan Pendahuluan.”

Sore itu Anang mewawancarai Mas Kunto. Saya hanya sesekali menyela. Mas Kunto menjawab semua pertanyaan Anang dengan sungguh-sungguh.

Selesai wawancara, tape recorder saya minta. “Lho, saya kan mau menulis,” Anang keberatan.

Saya jelaskan, hasil wawancara akan saya transkrip apa adanya, “Tugas Anda merumuskan hasil transkrip itu.”

Anang setuju. Dan ketika Pendahuluan diserahkan untuk dikoreksi, Dr. Kuntowodjojo berdecak kagum. “Wah! Jadi bagus begini.”

Ketika mendiskusikan judul, kami bertiga bersepakat terhadap judul “Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia”.

Ketika diterbitkan oleh Shalahuddi Press pada 1985, Dinamika menjadi buku pertama pemikiran Mas Kunto. Sesudah itu, dalam kalimat istri Mas Kunto, Mbak Susi, “Anang terus menguntit Mas Kunto.” Dari hasil menguntit itu, lahirlah Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi.

Berangkat Bung!

PERTENGAHAN 1985, saya mendapat telegram dari Pemimpin Umum majalah Kiblat, A. Musaffa Basjyr, untuk segera datang ke Jakarta. Ternyata saya diminta untuk mengelola majalah yang terbit sejak 1953 itu. “Saya sudah tua. Saya tidak mau majalah ini mati sesudah saya mati,” ujar Pak Musaffa.

Saya terkejut sekaligus bimbang.

Kawan-kawan di Yogya seperti Mochtar Efendi Harahap, Zukifli Halim, Said Tuhuleley, Jawahir Thontowi, Hamid Basyaib, dan Anang, memberi semangat.

“Berangkat, Bung! Itu aset umat. Kalau bisa diselamatkan, kita selamatkan. Saya dan kawan-kawan siap membantu,” ujar Anang.

Anang tidak cuma memberi semangat. Dia mendukung dengan sejumlah naskah terjemahan. Hamid mengirim laporan dari kunjungan dan diskusi Prof. Fazlur Rahman di Indonesia.

Tahun 1988 saya keluar dari Kiblat. Sesudah itu, saya membantu berbagai media terbitan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, sampai kemudian Ketua Dewan Da’wah Mohammad Natsir meminta saya membantu mengelola majalah Media Dakwah.

Selamat Jalan

SEBAGAI redaktur Media Dakwah beberapa kali saya meminta Anang menulis. Permintaan itu selalu dia penuhi, walaupun Anang tahu honor tulisannya kecil.

Sesudah itu kami terperangkap oleh kesibukan masing-masing, sehingga hampir tidak pernah lagi bersua secara fisik.

Ketika terbit buku Mr. Sjafruddin Prawiranegara Pemimpin Bangsa dalam Pusaran Sejarah (2011), saya kirim satu eksemplar kepadanya.

“Anda produktif sekali,” pesan Anang.

“Masih jauh di bawah produktivitas Anda,” jawab saya.

Hari ini produktifitas Anang terhenti. Menjelang tengah hari Ahad (12/4/2020), Anang berpulang ke rahmatullah. Kabar itu saya terima dari Teguh M. Abduh yang sejak Anang masuk rumah sakit intens berbagi informasi kondisi Anang.

Anang tidak bisa lagi menulis. Komentar-komentarnya yang cerdas dan sering kali sengak tidak akan ditemui lagi, tetapi karya-karya pikirnya akan tetap abadi dan menjadi suluh bagi pemikiran kaum cendekiawan.

Selamat jalan Anang. Maafkan saya yang tidak dapat mengantar ke peristirahatan terakhir.

Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu. []

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here