Agus, Wong Cilik, dan Muhammadiyah

1119

Oleh: Syaefudin Simon (Pemerhati Sosial Politik)

Tiga orang berambut cepak dan berbadan sekel terus mengintai sebuah rumah di Pancoran Barat. Ketika Agus hendak “pulang” ke rumah Ahmadi Thaha, usai makan, tiga orang berambut cepak itu mencegat Agus.

“Apakah kau mengenal saudara Agus Edy Santoso yang bersembunyi di rumah itu?” kata salah seorang pria cepak itu menunjuk rumah Ahmadi Thaha.

“Tidak kenal Pak. Aku tidak tahu orang yang bernama Agus,” ujarnya. Mendengar jawaban Agus, tiga orang berbadan sekel itu langsung pergi, entah kemana. Mungkin mereka menyebar di gang-gang sekitar Pancoran Barat, di sekitar rumah Ahmadi.

“Alhamdulillah Simon, aku selamat. Aku tahu tiga intel itu sedang mengincarku. Tapi mereka bodoh, tidak tahu wajah dan tubuhku secara detail. Ketika mereka menanyakanku – apa kenal Agus Edy Santoso – aku bohongi.” Wakakaka….Agus tertawa jika mengingat kejadian itu.

Tahun 1980-1990-an, Soeharto sangat berkuasa. Intel ada di mana-mana untuk menangkap tokoh dan mahasiswa aktivis pro demokrasi. Agus, mahasiswa STF Driyarkara Jakarta, salah satu di antaranya. Bersama Mulyana Wirahadikusuma, Marsilam Simanjuntak, dan aktivis prodemokrasi lain, Agus terus mengkritisi Soeharto. Tak hanya itu. Agus pun menggerakkan mahasiswa untuk menggalang perlawanan kepada Soeharto.

Akibat aktivitasnya, Agus dikejar intel. Ia bersembunyi di rumah Ahmadi Thaha – saat itu wartawan majalah Tempo – selama berhari-hari. Ahmadi memberi kamar rahasia untuk Agus dan menyiapkan “tempat pelarian darurat” kalau rumahnya digrebeg aparat.

Untungnya, aparat kurang jeli mengamati wajah Agus. Malah bertanya apakah kenal Agus kepada Agus sendiri. Lucu! Setelah ketahuan persembunyiannya, Agus pun pindah tempat. Entah kemana, untuk menghindari kejaran intel.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here