Ada Jurang Mendalam Antara NU dengan Masyumi?

2202

(Merespons Pendapat Ustadz Bachtiar Natsir)

Oleh: Lukman Hakiem, Peminat Sejarah

Dalam sebuah acara di sebuah pesantren, Ustadz Bachtiar Natsir (UBN) bicara tentang pentingnya silaturrahmi untuk memelihara persatuan umat Islam.

Imbauan itu diulangi UBN saat berpidato di panggung Reuni Alumni 212 di Jakarta, 2 Desember 2017.

Guna memperkuat argumen untuk imbauannya pada dua kesempatan itu, UBN mengungkapkan bahwa terganggunya persatuan umat Islam selain karena kurangnya silaturrahmi, juga karena terdapat trauma masa lalu, yaitu apa yang disebut oleh UBN sebagai “jurang amat dalam antara NU dan Masyumi” yang “melahirkan ketegangan yang aromanya masih terasa sampai sekarang.”

Menurut UBN, dulu Masyumi kecewa kepada NU karena NU keluar dari Masyumi dan mendukung Nasakom. Dulu NU kecewa kepada Masyumi karena Masyumi ikut PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia).

Soal menjaga persatuan, dan soal pentingnya menjalin silaturrahmi, siapapun tentu kudu sepakat dengan pendapat dan ajakan UBN. Tetapi, soal hubungan Nahdlatul Ulama (NU) dengan Masyumi, ada beberapa fakta yang perlu diungkap.

 

Searah jarum jam: Jenderal Nasutio, Mr. Hardi, M. Natsir, dan K. H. Masjkur

Tidak Sesuai Fakta

NU keluar dari Masyumi pada 1952. PRRI berdiri pada 1958. Jarak antara dua peristiwa itu cukup jauh. Tiga tokoh Masyumi: Mohammad Natsir, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, dan Boerhanoeddin Harahap memang ikut PRRI, tetapi Masyumi tidak pernah ikut PRRI. Ketika terjadi pergolakan daerah, Pimpinan Pusat Masyumi segera membekukan aktivitas Masyumi di daerah-daerah yang sedang bergolak.

Terhadap PRRI dan Kabinet Karya yang dibentuk oleh warga negara Republik Indonesia, Dr. Ir. Sukarno, pendapat Masyumi sangat tegas: sama-sama tidak konstitusional!

Pada 15 Februari 1958, pukul 15.00, Partai Masyumi bersama Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai NU, Partai Katolik, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Rakyat Indonesia (PRI) mengirim pesan kepada Ketua Dewan Perjuangan Letnan Kolonel Ahmad Hussein di Padang “agar jangan bertindak apa-apa terlebih dahulu. Kami sedang berusaha supaya DPR menjadi perantara untuk mencari jalan penyelesaian.”

Jadi, sampai terbentuknya PRRI, Masyumi dan NU tetap kompak dan rukun.

Pada awal September 1960, Masyumi membubarkan diri. NU, tentu dengan pertimbangan-pertimbangan taktis-politisnya, mendukung Nasakom pada masa Demokrasi Terpimpin (1960-1965) sesudah Masyumi bubar.

Dari mana logikanya, NU kecewa karena Masyumi ikut PRRI, dan Masyumi kecewa karena NU mendukung Nasakom?

Kesimpulan dan logika yang dibangun oleh UBN, tidak didukung oleh fakta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here