Abdul Mu’ti: Zakat Juga Bisa untuk Korban Pelanggaran HAM

558
Abdul_Mu'ti (Foto: Istimewa)

Muslim Obsession – Pemahaman mengenai zakat sudah berubah dari waktu ke waktu. Termasuk di antaranya adalah bentuk hingga skema zakat. Meski demikian masih ada satu pertanyaan yang perlu didalami.

Umat Islam mengenal ada delapan golongan yang berhak menerima zakat (mustahik) yakni Fakir (kaum papa), Miskin (kaum ekonomi pra sejahtera), Amil (petugas zakat), Mu’alaf (lemah iman), Gharim (orang yang tak mampu membayar hutang), Fi Sabilillah (orang yang berjuang di jalan Allah), Ibnu Sabil (musafir yang kekurangan bekal), dan Riqab (budak).

Selain budak atau Riqab, tujuh golongan mustahik lain mudah didefinisikan. Tujuh golongan mustahik lain dapat diukur berdasarkan kriteria kapasitas finansial.

Tapi bagaimana dengan budak atau riqab sebagai gejala ketimpangan kelas sosial, politik dan ekonomi? Pertanyaan ini perlu dijawab karena zakat punya potensi besar dalam solidaritas finansial sekaligus ekonomi-politik umat muslim kontemporer.

Perluasan Konteks Zakat

Prof. Abdul Mu’ti Sekretaris Umum PP Muhammadiyah mengatakan bahwa praktik zakat secara hakiki merupakan tindakan untuk “membersihkan jiwa” sekaligus “mewujudkan keberpihakan dalam menolong kaum yang lemah (dha’ifdhuafa).”

Hal tersebut ditegaskan Prof. Mu’ti dalam forum webinar Pusat Studi Islam, Perempuan dan Pembangunan (PSIPP) Institute Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta, belum lama ini.

Prof. Mu’ti mengatakan bahwa zakat punya tiga aspek yang saling terkait secara erat. Pertama, aspek penyucian diri dan jiwa, penyucian harta, serta penyucian lingkungan (masyarakat dan alam).

“Tidak hanya tazkiyatul akidah, tapi juga (tazkiyah) jiwa yang di situ manusia harus mempunyai jiwa yang bersih untuk membersihkan sifat-sifat kebinatangan dan syaithaniyah. Kedua, baru tazkiyatul maal yakni membersihkan hak orang lain yang ada pada harta kita. Ketiga adalah tazkiyatul musykilat, mengatasi berbagai problematika yang ada di dalam masyarakat,” jelas Prof. Mu’ti, dilansir Muhammadiyah.or.id

Zakat untuk Kelompok Tertindas secara Struktural

Dinamika zaman, menurut Prof. Mu’ti patut menjadi pertimbangan bagi lembaga amil zakat dalam merumuskan ulang definisi asnaf (kelompok penerima zakat). Tujuan utamanya agar cakupan zakat lebih banyak menjangkau kelompok yang lemah, termasuk kelompok yang dilemahkan secara struktural seperti Riqab (budak).

Mengacu pada riset Dosen PTDII Wahyu Misbach terkait Riqab yang dimuat di kolom tanya jawab Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2018, hampir semua lembaga zakat di Indonesia menurutnya telah menghilangkan Riqab sebagai asnaf zakat dengan alasan bahwa tidak ada lagi perbudakan.

Dalam risetnya, Wahyu mengatakan bahwa lembaga zakat di Malaysia sudah berupaya memaknai ulang Riqab. Sebagian di antaranya menafsirkan budak atau riqab sebagai korban perdagangan manusia (human trafficking).

Budak atau Riqab Menurut Muhammadiyah

Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah Muhammadiyah (Lazismu) sejatinya telah menafsirkan Riqab melalui dokumen Keputusan dewan syariah LAZISMU Nomor 1 tahun 2018.

Dalam dokumen tersebut, Lazismu mendefinisikan Riqab sebagai “orang yang menjadi korban dari bencana sosial berupa konflik sosial dan penerapan sistem sosial yang menyebabkan penindasan sehingga kemanusian tidak diakui secara total atau tidak secara penuh.”

Dengan demikian, apa yang ditekankan oleh Prof. Mu’ti terkait pembiayaan peran-peran advokasi krisis akibat ‘perbudakan modern’ dan pelanggaran Hak Asasi Manusia seharusnya dapat berjalan taktis dan strategis.

“Dalam konteks ini, zakat berarti inna shalataka sakanun. Zakat itu harus memberikan ketenangan dalam kehidupan sosial karena tidak ada kesenjangan yang begitu mencolok antara orang kaya dan miskin, atau antara yang berkuasa dan tanpa kuasa. Zakat menjadi skema filantropi dalam mengerem diskriminasi,” terang Abdul Mu’ti.

Zakat untuk Advokasi Hak Asasi Manusia (HAM)

Prof. Mu’ti mengatakan bahwa zakat dengan semangat kemanusiaan universal harus menyasar semua manusia yang membutuhkan pertolongan meski yang membutuhkan adalah dari umat non-muslim.

“Sehingga definisi fakir miskin itu tidak harus selalu berkaitan dengan kekurangan finansial. Tapi bisa juga mencakup orang yang mengalami kekerasan seksual, mengalami penindasan, mengalami perbudakan. Mereka pun termasuk orang yang menerima zakat,” imbuh Mu’ti.

“Definisi (budak atau riqab dan fakir miskin) harus kita perluas. Kalau riqab itu dimaknai sebagai gejala dan wajah praktik eksploitasi, maka zakat itu boleh kita gunakan untuk orang-orang yang mengalami marginalisasi. Termasuk korban pelanggaran HAM, penindasan dan bentuk-bentuk lain yang berkaitan dengan bentuk-bentuk ekspolitasi dan perbudakan modern sehingga zakat itu bisa mengatasi ketimpangan kuasa yang ada,” tegasnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here