76 Tahun HMI: Menyimak Percakapan Presiden Sukarno dengan Menteri Agama Saifuddin Zuhri

430

Oleh: Lukman Hakiem (Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta 1983-1984)

Kelakuan PKI

Partai Konunis Indonesia (PKI), menurut Menteri Agama Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, senantiasa berlindung kepada Bung Karno, baik sebagai presiden maupun sebagai pribadi. Maka, siapapun yang menyerang Bung Karno, (baik sebagai presiden maupun sebagai pribadi) PKI nimbrung balik menyerang. Dengan itu, melalui tangan Bung Karno, PKI dapat menghancurkan musuh-musuhnya.

Dalam hal ini Bung Karno tidak bisa terlalu disalahkan. Siapapun yang menjadi Presiden, jika ia diserang secara bertubi-tubi, dan dalam situasi demikian, PKI yang ideologinya lebih jahat dari pihak oposisi, mudah saja berlaku bagaikan “musang berbulu ayam”. Apalagi sejak semula orang-orang PKI tidak percaya perbuatan dosa, tidak mengenal halal-haram, dan menganut falsafah “segala cara boleh ditempuh untuk mencapai tujuan.”

SBII, HMI, HAMKA, dan Duta Masyarakat

Di antara badan organisasi dan orang yang menurut PKI harus dihancurkan, selain Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ialah Sarekat Buruh Islam Indonesia (SBII), dan HAMKA. Dengan sangat teratur, PKI melakukan kampanye demi membentuk opini umum bahwa HMI, SBII, adalah musuh Republik Indonesia. HAMKA pun diserang oleh koran-,koran komunis dengan dalih buku karangannya, :Tenggelamnya Kapal van der Wijk” itu plagiat. Padahal alasan sebenarnya, HAMKA adalah tokoh Masyumi.

Satu-satunya yang membela HAMKA adalah harian Duta Masyarakat, surat kabar yang menjadi terompet NU. Saifuddin Zuhri adalah pemimpin umum/pemimpin redaksi Duta Masyarakat. Tapi saat membela HAMKA, Saifuddin sudah non aktif, karena kesibukannya sebagai menteri agama. Posisi Saifuddin diganti oleh Mahbub Djunaedi dengan wakilnya, M. Said Budairy.

Presiden Sukarno: “Saya akan membubarkan HMI”

Pada suatu hari, Saifuddin Zuhri dipanggil oleh Presiden Sukarno untuk datang ke Istana Merdeka. Sudah menjadi kebiasaan Presiden Sukarno sejak di Yogyakarta, tiap pagi antara pukul 07:00 – 09:00 menyelenggarakan koffie uurtje, sejenak minum kopi, bersama beberapa orang tamunya, baik yang datang dengan perjanjian maupun tanpa perjanjian.

Biasanya mereka berjumlah belasan orang dengan berbagai profesi. Ada menteri, duta besar, perwira tinggi, wartawan, pengusaha swasta, istri pejabat, seniman, dan lain-lain.

Masing-masing tamu disuguhi setangkup roti bakar yang ditaburi gula dan sepotong telur dadar sebagai teman minum secangkir kopi hitam.

Setelah jumlah tamu berkurang, Saifuddin mendapat giliran bicara empat mata dengan Presiden Sukarno. Saifuddin dipersilakan duduk di sebelah Presiden.

“Saya ingin bicara dengan Saudara. Biarlah ada Hasjim Ning. Tidak apa-apa,” Presiden Sukarno membuka percakapan.

“Saya memberitahu Saudara selaku Menteri Agama bahwa saya akan membubarkan HMI,” ujar Presiden Sukarno sambil menatap wajah Saifuddin dalam-dalam seakan hendak menguak isi kepala menterinya itu.

Ucapan Presiden Sukarno itu dirasakan oleh Saifuddin bagai petir di siang bolong. Beberapa detik, Saifuddin terpana, seperti kehilangan keseimbangan mental.

“Mengapa HMI harus dibubarkan?” Saifuddin ingin tahu alasannya.

“Berbagai laporan masuk kepada saya bahwa di mana-mana HMI melakukan tindakan antirevolusi dan reaksioner,” kata Presiden sambil lagi-lagi menatap tajam wajah Saifuddin Zuhri.

“Kadar antirevolusi dan reaksionernya, sampai di mana?” Saifuddin memberanikan diri menyelidik.

“Yaaah…, misalnya selalu bersikap aneh, tukang kritik, bersikap liberal, seolah-olah hendak mengembalikan adat kebarat-baratan”.

Sejenak Saifuddin membuat keseimbangan antara emosi dan pikiran sehat.

Karena Presiden Sukarno memanggilnya untuk datang, itu artinya Presiden masih menghargai Saifuddin sebagai menterinya. Saifuddin merasa masih dihargai dan diperhitungkan. Kalau tidak, bukankah presiden dapat saja membubarkan HMI tanpa perlu lebih dulu mempercakapkan dengan Saifuddin Zuhri.

“Ataukah kehadiranku justru untuk memperlihatkan kepada masyarakat bahwa aku menyetujui pembubaran HMI,” Saifuddin membatin.

“Apakah HMI sudah pernah Bapak panggil untuk dinasihati?” tanya Saifuddin.

“Secara umum dan terbuka sudah berulang-ulang aku ingatkan melalui pidato-pidatoku.”

“Mohon dipertimbangkan lagi,” Saifuddin Zuhri membuka diskusi. “HMI itu anak-anak muda. Saya akan memberi tak melihat hal-hal tidak beres di kanan-kiri kita, “Lha, HMI-HMI itu telah mempraktikkan anjuran Bapak. Apakah Bapak tidak bangga?”

Presiden menatap wajah Saifuddin dengan pandangan lunak, seolah memberi isyarat kepada Saifuddin Zuhri masih terbuka kesempatan untuk berdiskusi terus.

“Mereka itu para mahasiswa berbagai fakultas,” Saifuddin mengemukakan pertimbangannya.

Mereka itu calon-calon insinyur, dokter, ekonom, sarjana hukum, dan lain-lain. Mereka itu kader-kader bangsa. Sudah jamak anak-anak muda berpikiran dinamis.

Dan jika gerakan itu arus air yang deras mengalir, harus dikanalisir, disalurkan, supaya menjadi tenaga kekuatan yang brmanfaat. Kalau HMI dibubarkan, mereka frustrasi, dan kita rugi semua!” Saifuddin makin mantap memberi pertimbangan.

“Mereka kan anak-anak Masyumi. Tentu seperti bapak ya, tetap aja reaksioner!” Presiden Sukarno belum menyerah, tetapi semangatnya untuk membubarkan HMI tidak menggebu-gebu lagi.

“Pak Presiden, ketika masa jayanya Masyumi, mereka masih di SMP atau SMA. Kita jangan mengikuti falsafah: karena bapaknya berbuat salah, anak-anaknya berdosa semua,” Saifuddin merasa di atas angin.

Untuk beberapa saat, Presiden menghentikan percakapan. Dia memanggil ajudan untuk suatu keperluan. Buat Saifuddin, itu isyarat bahwa Presiden muldi kehilangan argumentasi. Kalau tidak, dan jika memang berada di atas angin, buat apa memanggil ajudan?

Tugas pembantu presiden, menjaga agar presiden tidak berbuat berlebihan

“Bagaimanapun HMI dan SBII akan saya bubarkan. Kalau HMI bubar, NU kan untung. PMII makin besar,” kata Presiden.

“Soalnya bukan untung atau bukan untung. Sulit buat saya selagi masih menjadi Menteri Agama, ada organisasi Islam dibubarkan tanpa alasan kuat,” Saifuddin memberanikan diri untuk mengemukakan kebenaran, walaupun pahit. Qulil haqqa walau kaana murran.

“Yaah… Tidak saya sangka kalau Saudara membela HMI,” ujar Presiden. Kali ini sambil pandangannya menerawang.

“Bukan membela HMI, Pak! Saya tidak ingin Presiden berbuat berlebihan. Itu termasuk tugas kami para pembantu Presiden,” ujar Saifuddin makin mantap.

“Bukan berlebihan, tapi saya berbuat menurut gweeten saya, perasaan hati saya.”

Saifuddin merenung sejenak, menentukan sikap terakhir. “Kalau Bapak tetap hendak membubarkan HMI, artinya pertimbangan saya bertentangan dengan gweeten Bapak. Maka, tugasku sebagai pembantu Bapak, hanya sampai di sini,” tegas Ssofuddin, bulat dan tawakkal.

“Oooh…. Jangan berkata begitu. Saya tetap memerlukan Saudara membantu saya,” Presiden Sukarno berbicara sambil merekahkan senyum di bibirnya. Tangan Presiden diulurkan kepada Saifuddin. Refleks Saifuddin menjabat tangan Bung Karno.

“Baiklah, HMI tidak saya bubarkan, tetapi saya minta jaminan, HMI akan menjadi organisasi yang progresif. Kamu bersama Nasution, Roeslan Abdulgani, dan Sayarif Thayeb, harus membimbing HMI.”

“Sampai masa-masa akhir jabatan,” tutur Saifuddin, “kami empat orang yang ditunjuk Presiden menjadi pembimbing HMI, tidak pernah dipanggil untuk menerima tugas. Bahkan, kami si empat pembimbing tidak pernah bertemu dalam kasus HMI”.

Hanya pada suatu hari, K.H. Masykur dan Saifuddin Zuhri dipanggil untuk datang ke kantor Wakil perdana Menteri I, Dr. Soebandrio untuk dipertemukan dengan Dr. Soelastomo, dan Ismail Hasan Metareum (PB HMI), bersama Wartomo dan Agus Sudono (PB SBII).

Hasjim Ning: Sayalah saksi hidup yang menyaksikan upaya Saifuddin untuk menghalangi pembubaran HMI

DUA PULUH tahun kemudian, suatu saat, Saifuddin bertemu Hasjim Ning dalam resepsi pernikahan putra Gubernur DKI Jakarta, H. Ali Sadikin.

Saifuddin mendekati dan menyapa pengusaha nasional itu.

“Masih ingat peristiwa HMI?’ sapa Saifuddin.

“Oooh…., masih. Peristiwa itu tak pernah saya lupakan. You yang menghalang-halangi pembubaran HMI,” jawab Hasjim Ning.

“Saya sedang menulis memoar. Percakapan dengan Presiden Sukarno mengenai HMI akan saya tulis juga. Bolehkah saya sebut nama You?”

“Tulis saja. Sayalah saksi hidup pak Saifuddin Zuhri menghalang-hslangi pembubaran HMI,” jawab Hasjim Ning tegas dan spontan.

Jangan lupakan jasa Saifuddin

Menyimak percakapan Presiden Sukarno dengan Menteri Agama Saifuddin Zuhri yang disaksikan oleh Hasyim Ning, sangat wajar jika HMI tidak melupakan jasa tokoh NU itu di dalam menyelamatkan HMI.

Jika Presiden SBY dan (Alm) Taufik Kiemas dikukuhkan sebagai anggota kehormatan KAHMI, maka sangat layak penghargaan serupa dianugerahkan kepadaa keluarga K.H. Saifuddin Zuhri. []

 

Sumber: K.H. Saifuddin Zuhri, Authorized Memoirs, Berangkat dari Pesantren, Yogyakarta, LKiS, 2013, hlm 671-673.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here