Mana yang Benar, Silaturahmi atau Silaturahim?

666
Bersalaman atau berjabat tangan tak hanya meredakan konflik, tapi juga menumbuhkan cinta, persaudaraan, dan mendatangkan ampunan Allah.

Muslim Obsession – Sebagian besar dari kita masih belum mengerti makna dan perbedaan dari kata silaturahim dan silaturahmi. Sebenarnya mana yang tepat di antara keduanya?

Kata “silaturahim” atau “silaturahmi” seperti dikutip dari laman resmi muhammadiyah.or.id., berasal dari dari dua kata; shilat dan al-rahim atau al-rahmi. “shilat” berarti sambungan atau menyambung atau menjalin atau menghubungkan. Sementara al-rahim atau al-rahmi satu akar kata yang sama yaitu rahima – yarhamu.

Dari kata rahima – yarhamu bisa menghasilkan dua bentuk masdar (kata infinitif) yang berbeda dan mempunyai arti yang berbeda pula; 1) kasih sayang; dan 2) rasa sakit pada rahim wanita setelah melahirkan.

Baca Juga: Mana yang Benar, Husnul Khatimah atau Khusnul Khatimah?

Jika merujuk dalam banyak hadits, antara “rahim” dan “rahmi”, Rasulullah Saw. lebih banyak menggunakan pandanan “rahim”, misalnya:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: “مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ”. [رواه البخاري ومسلم واللفظ للبخاري]

“Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa yang suka dilapangkan rezekinya atau ditambahkan umurnya maka hendaklah ia menyambung kekerabatannya”.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ”. [رواه البخاري

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, diriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia menghormati tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia menyambung kekerabatannya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berbicara yang baik atau hendaklah ia diam”.” [HR. al-Bukhari].

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “إِنَّ الرَّحِمَ شِجْنَةٌ مُتَمَسِّكَةٌ بِاْلعَرْشِ تَكَلَّمَ بِلِسَانٍ ذَلِقٍ: “اَللَّهُمَّ صِلْ مَنْ وَصَلَنِي وَاقْطَعْ مَنْ قَطَعَنِي”. فَيَقُولُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: “أَنَا الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ، وَإِنِّي شَقَقْتُ لِلرَّحِمِ مِنَ اسْمِي، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ، وَمَنْ نَكَثَهَا نَكَثْتُهُ”. [أخرجه الهيثمي]

“Diriwayatkan dari Anas, diriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda: “Sesungguhnya rahim (kekerabatan) itu adalah cabang kuat di ‘Arsy berdoa dengan lisan yang tajam: “Ya Allah sambunglah orang yang menyambungku dan putuslah orang yang memutusku”. Maka Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Aku adalah ar-Rahman ar-Rahim. Sungguh Aku pecahkan dari namaKu untuk rahim (kekerabatan), maka barangsiapa menyambungnya niscaya Aku menyambung orang itu, dan barangsiapa memutuskannya pasti Aku memutuskan orang itu”.” [Diriwayatkan oleh al-Haitsami].

Meski secara makna literal Arab kata “silaturahim” yang lebih tepat, Majelis Tarjih berpendapat bahwa jika kata “silaturahmi” telah menjadi bahasa Indonesia, maka tidak mengapa menuliskan atau mengucapkannya sesuai dengan yang mudah bagi lisan kita.

Bahasa itu berkembang dan senantiasa mengalami modifikasi, apalagi ketika ditransliterasikan (disalin) atau diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Dan bukan suatu kesalahan menurut syara’ jika kita melakukan hal itu.

Karenanya, ketika seseorang mengatakan “silaturahmi”, maka dikembalikan ke makna Indonesia dan bukan secara harfiah diartikan dalam bentuk Arab. Sebab kata tersebut telah mengalami transformasi makna. Sama halnya dengan “kitab”. Bila dikembalikan ke makna aslinya yaitu bahasa Arab, maka artinya sekadar buku bacaan. Namun, dalam alam pikiran masyarakat Indonesia, kata “kitab” sudah lebih spesifik lagi merujuk pada buku agama berbahasa Arab.

Dalam sejarahnya, Islam juga pernah mengubah konsepsi orang Arab terhadap suatu kata. Misalnya, kata taqwa. Menurut penjelasan Toshihiko Izutsu, makna semantik kata taqwa di masa jahiliyah adalah “sikap membela diri sendiri, baik binatang maupun manusia, untuk tetap hidup melawan sejumlah kekuatan destruktif dari luar.” Oleh Al-Quran, kata ini dikonsepsi ulang menjadi kata yang menunjukkan keshalihan atau takut kepada Allah. Hari ini kita memaknai taqwa tidak lagi dikembalikan ke makna jahiliyah, melainkan ke makna Al-Quran.

Wallahu A’lam bish Shawab..

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here