Forjim Bongkar Penyesatan Opini Kaum Liberal tentang Konflik Rohingya

1938

Konflik Agama

Selanjutnya, Nuim Hidayat memaparkan, ada upaya penggiringan opini yang cenderung menyesatkan, dengan sebuah pertanyaan, konflik antara pemerintah Myanmar dengan Rohingnya, apakah benar benar karena murni faktor agama atau karena faktor lainnya?

Nuim mengatakan, ada sisi agama dalam konflik ini, namun juga ada ketegangan antaretnis dan ekonomi. Komunitas Rakhine merasa terdiskriminasi secara budaya, dieksploitasi secara ekonomi dan terpinggirkan oleh pemerintah pusat yang didominasi oleh etnis Burma.

Dalam situasi ini, etnis Rohingya, oleh orang Rakhine dianggap sebagai pesaing dalam perebutan sumber daya, sehingga menimbulkan ketegangan di negara bagian itu yang kemudian memicu konflik dari dua kelompok etnis tersebut.

Rohingya Myanmar
Korban wanita dan anak-anak menjadi pemandangan umum di kamp-kamp pengungsian. (istimewa)

Sementara Dubes Ito Sumardi menilai Indonesia harus tetap menjaga hubungan diplomatik dengan Myanmar demi bisa efektif membantu Rohingya. Ketika ditanya apakah konflik Rohingya terkait agama? Dubes Ito mengatakan, bukan agama sama sekali.

“Tentu kita juga harus melihat, bagaimana sulitnya seorang peraih Nobel Perdamaian menjadi pemimpin negara dan belum bisa mengendalikan sepenuhnya negara itu. Kan, pihak militer belum menyatu secara penuh dan beda dengan Indonesia.”

Menurut laporan Burma Human Rights Network, pemerintah junta militer Myanmar telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap muslim Rohingya, di antaranya: tidak mengakui mereka sebagai warga negara, menghancurkan masjid dan melarang mereka memperbaikinya; menyulut siar kebencian anti-Islam; mengurung mereka ke kamp-kamp perkampungan lewat aksi kekerasan; menyebarkan kampanye “perkampungan bebas muslim”; dan melancarkan operasi militer di Negara Bagian Rakhine.

Pasal 2 konvensi menyatakan genosida berarti perbuatan dengan tujuan menghancurkan, baik keseluruhan maupun sebagian, sebuah bangsa, etnis, ras, dan kelompok agama dengan cara membunuh atau membatasi hak-hak dan kebebasan mereka.

Sementara itu, Resolusi DK PBB 2007 yang memutuskan perhatian khusus pada konflik kemanusiaan di Rakhine gagal karena tidak mendapatkan kesepakatan dari seluruh anggota DK PBB.

Tercatat dalam rilisan rapat DK PBB bernomor S/PV.5619 pada 12 Januari 2007, Inggris, AS, Perancis, Belgia, Ghana, Italia, Panama, Peru, dan Slovakia menerima resolusi tersebut; Cina dan Rusia memveto; Afrika Selatan menolak; sedangkan Indonesia, Qatar, dan Republik Kongo abstain.

Duta Besar Cina untuk PBB saat itu, Wang Guangya, dalam rapat ke-5619, menyatakan: “Permasalahan di Myanmar merupakan urusan internal dari sebuah negara yang berdaulat. Pemerintah (Myanmar) dan kelompok-kelompok yang berkonflik harus diberi ruang untuk melakukan usaha rekonsiliasinya sendiri.”

Sedangkan Duta Besar Rusia untuk PBB Vitaly Churkin menyatakan, ”Perkara ini lebih baik diurus lembaga PBB lain, seperti World Health Organization (WHO) atau lembaga yang khusus bergerak di bidang HAM. Bukan Dewan Keamanan PBB.”

Mengutip data yang diurai Crisis Group, sejak dimulainya liberalisasi politik pada tahun 2011, Myanmar telah terganggu oleh kebangkitan nasionalisme Buddhis yang ekstrem, pidato kebencian anti-Muslim dan kekerasan komunal yang mematikan, tidak hanya di negara bagian Rakhine tapi juga di seluruh negeri.

Organisasi nasionalis yang paling menonjol adalah Asosiasi untuk Perlindungan Ras dan Agama (biasa disebut dengan akronim bahasa Burma, MaBaTha), terdiri dari biarawan, biarawati dan orang awam.

Pemerintah telah memfokuskan upaya yang cukup besar untuk membatasi kelompok ini dan mendorong otoritas Buddhis teratas di Myanmar untuk melarangnya.

Namun upaya ini sebagian besar tidak efektif dalam melemahkan daya tarik narasi dan organisasi nasionalis, dan bahkan mungkin telah menyempurnakannya.

Betapapun tidak nyamannya, pemahaman yang lebih bernuansa dari sumber dukungan sosial untuk MaBaTha, yang bertentangan dengan penggambaran satu dimensi sederhana, sangat penting jika mitra internasional pemerintah dan Myanmar menemukan cara yang efektif untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh nasionalisme radikal. dan mengurangi risiko kekerasan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here