Fatwa Halal MUI dan Sesat Logika Monopoli?

1518

Oleh: Prof. Dr. Ahmad Rofiq MA (Wakil Ketua Umum MUI Jateng)

MONOPOLI. Itulah kata yang belakangn ini viral di media sosial, media elektronik, dan media cetak, sejak muncul Omnibus Law UU Cipta Kerja. Pasalnya, ada “petinggi” PBNU yang mengatakan bahwa penyebab terhambatnya sertifikat halal adalah karena fatwa halal dimonopoli oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Koran Tempo (20/2) menurunkan headline senada, “MUI tak akan lagi memonopoli Fatwa dan Sertifikasi Halal”. Pasalnya, RUU Cipta Kerja versi Omnibus Law, akan memberikan kewenangan kepada ormas Islam, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, untuk fatwa dan sertifikat halal.

Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Sukoso mengatakan, “pemerintah akan mengubah beberapa ketentuan dalam UU Jaminan Produk Halal (JPH) versi Omnibus Law Cipta Kerja. Alasannya, “MUI dianggap tak akan mampu memberikan sertifikasi kepada pelaku usaha yang mencapai 63 juta unit. Itu baru unit. Kalau satu unit mengeluarkan dua produk, berarti ada 120 juta produk” (ibid).

Kalau kita mau jujur, sejak BPJPH dibentuk dan mengumumkan kepada masyarakat bahwa per 17 Oktober 2019, BPJPH sudah melayani sertifikasi halal, hingga tulisan ini dimuat juga tampaknya belum ada sertifikat halal yang dikeluarkan, karena kekurangsiapan atau ketidaksiapan BPJPH. Posisi LPPOM MUI hanyalah sebagai Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan MUI sebatas mengeluarkan Fatwa Halal. Karena sertifikat halal dikeluarkan oleh BPJPH berdasar fatwa halal dari MUI (Pasal 6 poin c).

Pasal 7 tampaknya dilupakan, bahwa “dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BPJPH bekerjasama dengan: a. kementerian dan/atau Lembaga terkait; b. LPH, dan c. MUI. Pasal 10 ayat (1) menyatakan, Kerjasama BPJPH dengan MUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dilakukan dalam bentuk: a. sertifikasi Auditor Halall b. penetapan kehalalan Produk; dan c. akreditasi LPH. Ayat (2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikeluarkan oleh MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk.

Sekiranya DPR-RI yang terhormat, nantinya menyetujui perubahan, tentu perlu pertimbangan yang matang. Soal LPH bisa dikerjakan oleh ormas apapun selama legal dan loyal pada NKRI saya kira wajar saja. Laksana pasar bebas, bahwa siapa pun sepanjang memahami Syariah yang nantinya memeriksa kehalalan suatu produk, wajar saja. Apalagi nanti UMKM akan digratiskan. Supaya layanan sertifikasi halal bisa berjalan dengan sangat cepat.

Sesat Logika Monopoli?

Sebagai warga kecil di kampung yang pernah belajar logika, anggapan – atau tuduhan – bahwa LPPOM MUI memonopoli layanan sertifikasi halal, tentu tidak berdasar. Alasannya, LPPOM MUI selama 30 (tiga puluh) tahun melayani sertifikasi halal, bersifat voluntary alias sukarela.

Belum ada aturan yang mengatur. Bahkan ketika BPJPH sudah lahir, Menteri Agama RI mengeluarkan KMA No. 982 yang setelah pendaftaran di BPJPH, masih diserahkan kepada LPPOM MUI yang merupakan LPH yang sudah terakreditasi dan bahkan sudah melayani sertifikasi secara online melalui aplikasi sertifikasi halal online Cerol-SS23000.

Selama 30 tahun itu pula, tidak ada ormas yang menginisiasi untuk melayani sertifikasi halal. Ketika masyarakat memiliki kesadaran atau awareness akan pentingnya sertifikasi halal pada produk dan jasa, justru LPPOM MUI yang di-bully dan dituduh memonopoli. Bahwa dengan Omnibus Law RUU Cipta Kerja, nantinya akan memberikan kesempatan kepada ormas apa pun untuk mengeluarkan Fatwa Halal, dan itu akan ditetapkan oleh DPR-RI yang terhormat, tentu sebagai rakyat kecil yang diwakili, ya kita tunggu saja bagaimana respons masyarakat.

Fatwa Halal yang dikeluarkan MUI berdasar audit lapangan oleh LPPOM MUI yang sudah berjalan selama ini, juga agak aneh jika dikatakan monopoli. Karena tidak ada perintah dan larangan apapun Ormas Islam lainnya berfatwa. Namun persoalannya adalah, karena fatwa halal itu lahir adalah atas permintaan masyarakat. Karena itu, kalau ada anggapan MUI dan LPPOM MUI memonopoli, adalah sesat logika. Bahasa kampung saya, adalah kesalahpahaman. Akibatnya pahamnya jadi salah. Semoga pahamnya saya tidak salah, dan juga tidak salah paham. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here