Tokoh NU dan Muhammadiyah Serukan Perbanyak Konten Wasatiyah Islam di Medsos

1171

Jakarta, Muslim Obsession – Konsep Wasatiyah Islam atau Islam yang moderat diyakini bisa meredam gerakan radikalisme, ekstrimisme, dan sparatisme di Indonesia. Namun sayangnya, ide-ide tentang wasatiyah Islam dinilai masih sangat minim diproduksi oleh kalangan umat Islam, khususnya ide berkaitan dengan memproduksi konten di media sosial (medsos).

Persoalan itu dibahas tuntas dalam diskusi yang diadakan oleh Komunikonten, Institut Media Sosial dan Diplomasi dengan tema “Strategi Mempromosikan Wasatiyah Islam Lewat Diplomasi Media Sosial” pada Selasa (26/6/2018) di Aula PGK, Jalan Duren Tiga Raya No 7, Pancoran, Jakarta Selatan.

Dalam keterangan tertulis yang diterima Muslim Obsession, Rabu  (27/6/2018), Savic Ali, Direktur Pemberitaan Nahdlatul Ulama Online, Pendiri islami.co, menuturkan, bahasa Wasatiyah Islam di internal warga Nahdiyin sebenarnya sudah bukan barang baru alias tidak asing lagi. Sebab kalangan kiai NU maupun santrinya disebut sudah sangat moderat, toleran dan jiwa sosial yang tinggi.

Namun diakui di era digital atau milenial ini, dimana pertarungan informasi dan perebutan pengaruh ada di media sosial, pihak NU masih kurang meresponsnya dengan cepat. Terlebih dengan semakin marak pemahaman gerakan radikalisme di media sosial. Jumlah konten yang beredar disebut tak seimbang.

“Kalau di NU konsep Wasatiyah Islam sebenarnya sudah selesai. Bahkan sejak NU berdiri. Tapi kan persoalan pemahaman itu hanya beredar di barat. Di dunia maya (medsos) produksi kita diakui masih sangat minim,” ujar Savic.

Menurutnya banyak hal kenapa produksi konten tentang wasatiyah Islam itu minim. Pertama bukan karena kurangnya pemahaman tentang konsep tersebut. Namun karena banyak kiai NU dan santrinya di pondok pesantren kurang akrab dengan media sosial. Padahal sebenarnya mereka punya banyak ide dan gagasan yang berlian.

“Tidak banyak kiai NU yang menggunakan media sosial untuk kepentingan dakwah. Artinya aktif membuat konten positif setiap minggu untuk disebarkan di media sosial. Dakwah mereka itu lebih banyak di darat dibanding di medsos. Padahal keduanya sama-sama penting,” jelasnya.

Menurutnya untuk Meng-Counter gerakan radikalisme kata dia harus dengan cara membuat konten sebanyak-banyaknya tentang konsep Wasatiyah Islam. Atau mengkritisi pendapat mereka. Sebab jika dibiarkan, maka pemahaman gerakan radikalisme dianggap bisa semakin luas.

“Karena mereka merasa tidak ada yang mengawasi, tidak ada menghalangi. Jadi mereka semakin bersemangat. Padahal ini harus dilawan dengan cara kita membuat konten positif. Saya bersyukur NU Online sudah aktif memproduksi konten-konten keislaman yang positif,” jelasnya.

Sementara itu, Hajriyanto Y Thohari, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2015-2020, Wakil Ketua MPR 2004 – 2019 juga mengatakan hal yang sama, di Muhammadiyah sendiri pembuatan konten menyangkut Wasatiyah Islam di media sosial masih sangat minim. Tidak banyak yang membicarakan itu, karena warga Muhammadiyah juga sulit teridentifikasi, tidak seperti warga NU.

“Muhammadiyah kan lebih kepada Islam berkemajuan. Kadarnya berfikir bagaimana Islam maju secara iptek, kadang-kadang karena sudah banyak membaur dengan yang umum, susah teridentifikasinya. Beda dengan NU, mereka kuat dengan kultur atau tradisi, jadi untuk identifikasi itu mudah,” jelasnya.

Berkaitan dengan Wasatiyah Islam, ia melihat secara identik Islam itu pasti wasatiyah karena itu ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad. Muhammadiyah sendiri tidak mau banyak memproduksi kata-kata mengenai konsep Wasatiyah Islam, Islam toleran, ataupun pluralisme. Muhammadiyah kata dia, selalu menjawab dengan amal dan tindakan.

“Dulu jauh sebelum kemerdekaan Ahmad Dahlan ketika membuat klinik PKU Muhammadiyah, tidak pernah berfikir hanya untuk mengobati umat Islam. Tapi seluruh manusia, tidak memandang suku, ras dan agama. Jadi konsep wasatiyah Islam itu selalu dijawab dengan amal bakti, tidak banyak kata-kata. Bikin sekolah, perguruan tinggi, panti asuhan dll,” tandasnya.

Namun baik NU dan Muhammadiyah keduanya sama-sama menyerukan untuk terus mengampanyekan wasatiyah Islam dengan memperbanyak konten di media sosial dengan strategi dan cara-cara masing-masing. NU dengan basis culturnya. Sedangkan Muhammadiyah dengan basis iptek atau Islam berkemajuan. (Albar)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here